Jumat, 17 Agustus 2012

LAPORAN FAKTOR ABIOTIK


LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN
Pengukuran Faktor Lingkungan Abiotik Ekosistem Akuatik


Nama                               : MUTIA WIDI RIANI
NIM                                : 1110095000016
Kelompok                        : 5
Asisten Dosen                  : Angga Restiadi
Tanggal Praktikum            : 20 Maret 2012
Tanggal Pengumpulan        : 27 Maret 2012





new-uin-logo
 

BIOLOGI







PROGRAM STUDI BIOLGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Lingkungan merupakan kompleks dari faktor yang saling berinteraksi satu dengan lainnya, tidak saja antara faktor-faktor biotik dan abiotik, tetapi juga antara biotik maupun abiotik itu sendiri, sehingga sulit untuk memisahkan satu faktor terhadap faktor-faktor lainnya tanpa mempengaruhi kondisi keseluruhannya.
            Faktor lingkungan abiotik merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi pertumbuhan dan distribusi organisme. Berbeda dengan ekosistem terrestrial, faktor abiotik pada ekosistem perairan menjadi faktor pembatas yang utama. Variasi nilai faktor abiotik membuat ekosistem perairan selalu mengalami perubahan kualitas dan kuantitas. Oleh karena itu, organisme perairan harus dapat beradaptasi dalam mencari nutrisi dan menjalankan kelangsungan hidup dengan menggunakan gas-gas yang terlarut pada perairan tersebut. Pengaruh variasi abiotik ini juga sebagai penunjang lingkungan secara keseluruhan yang memungkinkan adanya perubahan produktivitas biologis. Dengan adanya praktikum ini, kita dapat menentukan kualitas fisik dan kimia suatu perairan sehingga dapat menambah wawasan tentang variasi faktor abiotik yang sesuai dengan kelangsungan kehidupan organisme perairan sehingga kita dapat mengaplikasikan hal tersebut di bidang perikanan dan konsevasi alam (Irwan, 1992).
1.2 Tujuan Praktikum
·         Mengetahui pengaruh faktor-faktor abiotik didalam suatu ekosistem akuatik.
·         Mengetahui berbagai aspek kimia dan fisika yang mempengaruhi kehidupan biota akuatik.
·         Mengetahui cara penggunaan alat-alat yang digunakan dalam pengukuran faktor lingkungan abiotik ekosistem akuatik.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

            Faktor abiotik merupakan salah satu komponen atau faktor dalam lingkungan yang mempengaruhi organisme. Komponen abiotik adalah komponen lingkungan yang terdiri atas makhluk tak hidup atau segala sesuatu yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, iklim, kelembaban, cahaya, dan bunyi (Irwan, 1992).
1.      Danau
            Perairan disebut danau apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam. Air danau biasanya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah pinggir saja. Berdasarkan pada proses terjadinya danau dikenal danau tektonik yang terjadi akibat gempa dan danau vulkanik yang terjadi akibat aktivitas gunung berapi (Barus, 2004).
            Perairan danau merupakan salah satu bentuk ekosistem air tawar yang ada di permukaan bumi. Secara fisik, danau merupakan suatu tempat yang luas yang mempunyai air yang tetap, jernih atau beragam dengan aliran tertentu. Danau adalah suatu badan air alami yang selalu tergenang sepanjang tahun dan mempunyai mutu air tertentu yang beragam dari satu danau ke danau yang lain serta mempunyai produktivitas biologi yang tinggi. Asal mula sebuah danau dapat bermacam-macam. Ada yang terbentuk karena terjadi patahan di permukaan bumi yang kemudian diikuti peristiwa klimat. Beberapa danau lain timbul akibat gejala vulkan, karena belokan sungai yang terlalu dalam, karena depresi tanah kapur dan ada juga danau buatan.
            Pencemaran air dapat disebabkan oleh berbagai hal dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda, namun jelas menghasilkan suatu dampak yang sama yaitu rusaknya ekosistem sungai. Salah satu usaha pengelolaan kualitas air di Daerah Pengaliran Sungai (DPS) adalah pemantauan parameter-parameter kualitas air. Parameter kualitas air yang dipantau secara umum adalah parameter fisika-kimia dan biologi (Irianto & Machbub, 2004 dalam Mahanal 2009), walaupun dalam  praktiknya sering hanya digunakan parameter fisika-kimia seperti suhu air, warna, bau, rasa, dessolve oxygen (DO), senyawa-senyawa nitrogen, padatan tersuspensi, serta materi terlarut dan lain-lain.
Menurut Kovacs (1992) serta Rosenberg dan Resh (1993) dalam mahanal (2009), untuk menganalisis suatu pencemaran di lingkungan perairan banyak digunakan bioindikator, karena: 1) pengukuran kualitas faktor fisiko-kimia hanya menggambarkan situasi pada saat itu dan memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit, 2) jumlah atau intensitas zat pencemar kadangkala terlalu rendah untuk dideteksi dengan analisis secara kimia dan fisika, 3) pengaruh kombinasi beberapa zat pencemar mungkin berbeda bila terpisah-pisah, 4) kadangkala tidak jelas
parameter faktor fisiko-kimia mana yang perlu di ukur.
2.      Pengukuran faktor abiotik danau
2.1  Pencuplikan Air
            Pengambilan sampel air yang menyangkut pemeriksaan kadar oksigen terlarut dengan menggunakan water bottle sampler merk La Motte bertujuan agar tidak menimbulkan gelembung udara. Pencuplikan air digunakan untuk pemeriksaan oksigen terlarut didalam air.
                   
2.2  Pengukuran Suhu Air
            Tinggi rendahnya nilai temperatur suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan organisme air termasuk plankton. Tingginya nilai temperatur dapat meningkatkan kebutuhan plankton akan oksigen. Hal ini disebabkan karena temperatur dapat memicu aktivitas fisiologis plankton sehingga kebutuhan akan oksigen semakin meningkat. Dalam setiap penelitian dalam ekosistem akuatik, pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut Hukum Van’t Hoffs bahwa kenaikan temperatur sebesar 10oC (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) dapat meningkatkan aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Pola temperatur ekosistem akuatik juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi badan perairan. (Brehm & Maijering, 1990 dalam Barus, 2004).
            Kerapatan air tertinggi terjadi pada suhu 4 oC, di atas dan di bawah suhu tersebut air akan berkembang dan menjadi lebih ringan. Sifat unik ini menyebabkan air danau tidak membeku seluruhnya pada musim dingin. Walaupun variasi suhu dalam air tidak sebesar di udara, hal ini merupakan faktor pembatas utama karena organisme akuatik sering kali mempunyai toleransi yang sempit (Odum, 1994). Temperatur air di suatu ekosistem danau dipengaruhi terutama oleh intensitas cahaya matahari tahunan, letak geografis serta ketinggian danau di atas permukaan laut (Barus, 2004).
2.3  Pengukuran Derajat Keasaman (pH) Air
                Nilai pH yang terlalu asam atau basa berbahaya bagi kelangsungan hidup plankton karena akan menyebabkan berbagai gangguan metabolisme termasuk respirasi. Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisma karena akan menyebabkan terjadinya berbagai gangguan seperti gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 2004). Pengukuran pH air dapat dilakukan dengan cara kolorimetri, dengan kertas Ph, atau dengan pH meter (Suin, 2002). pH menunjukkan kadar asam atau basa dalam suatu larutan dan suasana air juga mempengaruhi beberapa hal lain misalnya kehidupan biologi dan mikrobiologi.
Sumber: www. juwilda.wordpress.com
            pH-meter adalah sebuah alat elektronik yang digunakan untuk mengukur pH (keasaman atau alkalinitas) dari suatu cairan (meskipun probe khusus terkadang digunakan untuk mengukur pH zat semi padat). pH-meter yang biasa terdiri dari pengukuran khusus probe (elektroda gelas) yang terhubung ke meteran elektronik yang mengukur dan menampilkan pH membaca.
2.4  Pengkuran Derajat Kecerahan Air
Penetrasi cahaya sangat mempengaruhi keberadaan plankton di suatu badan perairan, sebab penetrasi cahaya sangat menentukan proses fotosintesis dan reproduksi yang dilakukan plankton masih dapat berlangsung. Menurut Nybakken (1992) bahwa kedalaman penetrasi cahaya yang merupakan kedalaman di mana produksi fitoplankton masih dapat berlangsung, bergantung pada beberapa faktor, antara lain absorpsi cahaya oleh air, panjang gelombang cahaya, kecerahan air, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, lintang geografik dan musim. Menurut Barus (2004) bahwa kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda pada setiap ekosistem air yang berbeda. Bagi organisma air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya.
Bila kekeruhan disebabkan oleh organisme, ukuran kekeruhan merupakan indikasi produktifitas. Kejernihan dapat diukur dengan alat yang amat sederhana yang disebut dengan cakram Secchi (Odum, 1994). Prinsip penentuan kecerahan air dengan keping sechii adalah berdasarkan batas pandangan ke dalam air untuk melihat warna putih yang berada dalam air. Semakin keruh suatu badan air akan semakin dekat dengan batas pandangan, sebaliknya kalau air jernih akan jauh batas pandangan tersebut. Keping sechii berupa suatu kepingan yang berwarna hitam putih yang dibenamkan ke dalam air (Suin, 2002).
2.5  Penentuan Kadar Oksigen Terlarut
Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan proses biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik. Peranan oksigen paada organisme aerobik, adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang pada akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan. Sedangkan dalam kondisi anaerobik, oksigen yang dihasilkan akan mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami maupun secara perlakuan aerobik yang ditujukan untuk memurnikan air buangan industri dan rumah tangga. Sebagaimana diketahui bahwa oksigen berperan sebagai pengoksidasi dan pereduksi bahan kimia beracun menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun. Disamping itu, oksigen jugasangat dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pernapasan. Organisme tertentu, sepertimikroorganisme, sangat berperan dalam menguraikan senyawa kimia beracun rnenjadi senyawa lainyang Iebih sederhana dan tidak beracun. Karena peranannya yang penting ini, air buangan industridan limbah sebelum dibuang ke lingkungan umum terlebih dahulu diperkaya kadar oksigennya.
Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan – bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut.
Plankton merupakan organisme air yang membutuhkan oksigen untuk melaksanakan aktivitas fisiologis dan biologis. Kandungan oksigen terlarut yang terdapat di suatu badan perairan tentu saja sangat mempengaruhi keberadaan plankton karena plankton membutuhkan oksigen untuk dikonsumsi terutama pada saat proses respirasi. Agar dapat hidup, hewan maupun tumbuhan air memerlukan oksigen untuk proses respirasi. Kadar oksigen terlarut (DO) adalah jumlah oksigen yang terlarut dalam volume air tertentu pada suatu suhu dan tekanan atmosfer tertentu. Pada tekanan atmosfer normal (1 atm) dan suhu 20 oC, kadar maksimum oksigen terlarut dalam air adalah 9 ppm (mg/l).


2.6  Pengukuran Turbiditas Air
Turbiditas (kekeruhan) merupakan kandungan bahan Organik maupun Anorganik yang terdapat di peraairan sehingga mempengaruhi proses kehidupan organisme yang ada di perairan tersebut. Turbiditas sering di sebut dengan kekeruhan, apabila di dalam air media terjadi kekeruhan yang tinggi maka kandungan oksigen akan menurun, hal ini disebabkan intensitas cahaya matahari yang masuk kedalam perairan sangat terbatas sehingga tumbuhan/ phytoplankton tidak dapat melakukan proses fotosintesis untuk mengasilkan oksigen.
Turbidimeter merupakan alat yang digunakan untuk menguji kekeruhan, yang biasanya dilakukan pengujian adalah pada sampel cairan misalnya air. Salah satu parameter mutu yang sangat vital adalah kekeruhan yang kadang-kadang diabaikan karena dianggap sudah cukup dilihat saja atau alat ujinya yang tidak ada padahal hal tersebut dapat berpengaruh terhadap mutu. Oleh sebab itu untuk mengendalikan mutu dilakukan uji kekeruhan dengan alat turbidimeter.
2.7  Pengukuran Salinitas dan Konduktivitas Air
Salinitas merupakan jumlah gram garam yang terlarut dalam satu kilogram air laut. Konsentrasi garam dikontrol oleh batuan alami yang mengalami pelapukan, tipe tanah, dan komposisi kimia dasar perairan. Salinitas merupakan indikator utama untuk mengetahui penyebaran massa air lautan sehingga penyebaran nilai-nilai salinitas secara langsung menunjukkan penyebaran dan peredaran massa air dari satu tempat ke tempat lainnya. Penyebaran salinitas secara alamiah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain curah hujan, pengaliran air tawar ke laut secara langsung maupun lewat sungai dan gletser, penguapan, arus laut, turbulensi percampuran, dan aksi gelombang.
Daya hantar listrik atau konduktivitas perairan dapat diukur dengan konduktivitimer. Konduktivitas air bergantung pada jumlah ion-ion terlarut per volumenya dan mobilitas ion-ion tersebut. Satuannya adalah (μmho/cm, 250C). Konduktivitas bertambah dengan jumlah yang sama dengan bertambahnya salinitas. Secara umum, faktor yang lebih dominan dalam perubahan konduktivitas air adalah temperatur.
























BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilakukan di danau Situ Gintung dan laboratorium ekologi PLT UIN Jakarta pada hari  Selasa, 20 Maret 2012 pukul 13.30 – 16.00 WIB.
3.2 Alat dan Bahan
Praktikum kali ini menggunakan alat-alat pengukuran faktor abiotik ekosistem akuatik seperti Water Sampler Bottle, tele thermometer, pH indikator, secci disk, DO meter, Water Quality Chekker, turbidimeter, dan TSS. Bahan yang digunakan adalah sampel air dari danau Situ Gintung dan aquadest.
3.3 Cara Kerja
1.      Pencuplikan Air
Pengambilan sampel air yang menyangkut pemeriksaan kadar oksigen terlarut dengan menggunakan water bottle sampler merk La Motte bertujuan agar tidak menimbulkan gelembung udara. Pengambilan sampel air dilakukan dengan cara menurunkan tabung secara horizontal perlahan-lahan, dengan bagian ujung talinya dipegang. Setelah sesuai dengan kedalaman yang diinginkan, tali digoyangkan beberapa kali sebelum logam pemacu (messenger) diluncurkan. Setelah logam pemacu sampai ke botol pencuplik, botol ditarik ke atas, dan air dari tabung tersebut dialirkan ke luar melalui suatu sistem pipa-pipa kecil kedalam dua atau lebih botol cuplikan.
2.      Pengukuran Suhu Air
Pengukuran suhu air dilakukan dengan menggunakan thermometer air raksa dengan cara thermometer ditenggelamkan dalam air dengan seutas tali kemudian dibiarkan sampai air raksa tidak bergerak (+5 menit). Selanjutnya suhu dibaca dengan cara mengamati air raksa didalam thermometer tersebut.
3.      Pengukuran Derajat Keasaman (pH) Air
Derajat keasaman (pH) air diukur dengan menggunakan pH indikator. Caranya adalah dengan mencelupkan kertas pH kedalam sampel air sampai seluruh warna tercelup kemudian ditunggu beberapa saat, lalu dibandingkan dengan warna standar pada kotak pH indikator.
4.      Pengkuran Derajat Kecerahan Air
Pengkuran derajat kecerahan air dilakukan dengan menggunakan keping secchi (secchi disk) dengan cara keping secchi diturunkan kedalam air secara perlahan-lahan dengan terus memperhatikan warna keping. Tepat pada saat warna putih tidak dapat dibedakan lagi dengan warna hitam, ukuran kedalaman panjang tali yang masuk ke dalam air dibaca. Selanjutnya keeping secchi diturunkan kembali sedikit lebih dalam lalu secara perlahan-lahan ditarik naik. Tepat pada saat warna putih dapat terlihat, panjang tali atau kedalaman dibaca kembali. Derajat kecerahan dinyatakan dalam satuan centi meter atau meter dengan merata-ratakan hasil dua pengukuran kedalaman tersebut.
5.      Penentuan Kadar Oksigen Terlarut
            Kadar atau kandungan oksigen terlarut diukur langsung dan relative cepat dengan menggunakan alat khusus yaitu DO-meter (Dissolved Oxygen-meter). Caranya adalah dengan mencelupkan kabel penelusur kedalam sampel air, kemudian dilihat dan dicatat hasilnya.
6.      Pengukuran Salinitas dan Konduktivitas Air
Pengukuran konduktivitas dilakukan menggunakan conductivitymeter, yaitu dengan cara bagian sensor alat dimasukkan ke dalam air sampel.

7.      Pengukuran Turbiditas air
Pengukuran turbiditas dilakukan menggunakan turbidimeter. Sampel air dimasukkan ke dalam botol sampel. Tombol “on” ditekan, diikuti tombol “cal” untuk kalibrasi. Botol sampel dimasukkan ke dalam turbidimeter. Ditekkan tombol “tur” untuk pengukuran turbid. Dicatat hasil pada layar.

















BAB 1V
HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah dilakukan penelitian terhadap faktor abiotik ekosistem akuatik di danau Situ Gintung, didapatkan hasil pengukuran sebagai berikut.
NO.
PENGAMATAN
HASIL
1.
Derajat kecerahan air
41,5
2.
Suhu air
-   Thermometer air raksa
-   DO-meter

29 0C
30,2 0C
3.
pH air
7
4.
DO meter
9,9 mg/L
5.
Konduktivitas
0,1 ms/cm
100 s
6.
Turbiditas
31,59 FTU
Tabel 4.1 Pengamatan Mikroklimat
            Pengukuran derajat kecerahan air dilakukan dengan menggunakan keping secchi (secchi disk) yang memiliki prinsip kerja berdasarkan perbedaan jarak pada saat warna putih secchi disk menghilang dari permukaan air dan timbul kembali saat secchi disk diangkat dari dalam air. Setelah dilakukan pengukuran, hasil derajat kecerahan air sebesar 41,5. Berdasarkan hasil tersebut, dapat terlihat  bahwa kecerahan air di danau Situ Gintung cukup keruh karena hanya sedikit cahaya yang masuk ke dalam air. Menurut Barus (2004) bahwa kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda pada setiap ekosistem air yang berbeda. Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya.
            Berdasarkan hasil pengukuran menggunakan thermometer air raksa suhu yang didapat sebesar 29 0C menunjukan bahwa suhu air di danau Situ Gintung cukup hangat. Hal tersebut dikarenakan pengukuran dilakukan pada waktu siang hari saat terik matahari. Kenaikan temperatur dapat membuat kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang karena membuat oksigen didalam air menguap.
Setelah dilakukan pengukuran derajat keasaman air menggunakan pH indikator didapatkan pH sampel air sebesar 7 yang menunjukan derajat keasaman air di danau Situ Gintung netral.  pH yang netral dibutuhkan organisme air untuk dapat hidup. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya berbagai gangguan seperti gangguan metabolisme dan respirasi. Terlebih bagi danau Situ Gintung yang tengah dalam proses suksesi, maka keadaan pH yang netral dibutuhkan bagi kelangsungan hidup plankton sebagai makanan organisme air yang ada (Barus, 2004).
            Pengambilan sampel air yang menyangkut pemeriksaan kadar oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan water bottle sampler merk La Motte. Penggunaan alat ini bertujuan agar pada saat pengambilan sampel tidak menimbulkan gelembung udara karena akan menyebabkan ketidak akuratan hasil. Kelebihan alat ini yaitu dapat digunakan pada kedalaman <1 2004="2004" atau="atau" bahan="bahan" banyak="banyak" dan="dan" dapat="dapat" dari="dari" dikarenakan="dikarenakan" dinding="dinding" dipakai="dipakai" flexy="flexy" glass="glass" ibisono="ibisono" karet="karet" kelemahan="kelemahan" memiliki="memiliki" menempel="menempel" meter="meter" organik="organik" pada="pada" pemeriksaan="pemeriksaan" plastik="plastik" sehingga="sehingga" semacam="semacam" span="span" tabung="tabung" terbuat="terbuat" tidak="tidak" tujuan="tujuan" tutup="tutup" tutupnya="tutupnya" untuk="untuk" yang="yang">
                Hasil pengukuran oksigen terlarut sebesar 99,9 mg/L menunjukan keadaan air di danau Situ Gintung cukup baik, namun tidak banyak ditemukan organisme air laut pada saat penelitian seperti ikan, udang, dan lain-lain dikarenakan danau Situ Gintung sedang dalam proses menuju suksesi, dimana organisme penghasil oksigen didalam danau masih sedikit jumlahnya. Konsentrasi gas oksigen bervariasi pada setiap kedalaman dan dipengaruhi oleh suhu, dan berasal dari dua sumber, yakni atmosfer dan dari hasil fotosintesis fitoplankton dan berbagai jenis tanaman air (Wibisono, 2004).
Kercerahan diperngaruhi oleh kedalaman. Semakin dalam suatu periran maka tingkat kecerahan semakin rendah, hal ini dikarenakan cahaya matahari sulit tertembus pada dasar perairan. Konduktivitas air diukur dengan menggunakan alat Conduktivity meter dan dipengaruhi oleh kecerahan yaitu semakin besar nilai konduktivitas maka semakin tinggi pula tingkat kecerahan. Tabel diatas menunjukkan konduktivitas perairan danau Situ Gintung sebesar 100 s. hal tersebut menunjukkan partikel-partikel ion didalam air cukup banyak sehingga mampu mengahantarkan listrik.
Turbiditas air diperiksa dengan menggunakan alat turbidimeter yang berfungsi untuk pengujian kekeruhan dengan sifat optik akibat dispersi sinar dan dapat dinyatakan sebagai perbandingan cahaya yang dipantulkan terhadap cahaya yang datang. Turbidimeter memiliki prinsip kerja akan memancarkan cahaya pada media atau sampel, cahaya tersebut akan diserap dan ada yang diteruskan, dipantulkan atau menembus media tersebut. Cahaya yang menembus/diserap media akan diukur dan ditransfer kedalam bentuk angka yang merupakan tingkat kekeruhan. Semakin banyak cahaya yang diserap maka semakin keruh. Tabel diatas menunjukan turbiditas air danau Situ Gintung sebesar 31,9 FTU. Hal itu menunjukkan banyaknya partikel-partikel tersuspensi di perairan tersebut. Kekeruhan pada perairan danau disebabkan oleh bahan tersuspensi dan partikel-partikel seperti tanah, lumpur, dan bahan-bahan organik.







BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
·         Faktor-faktor abiotik yang mempengaruhi ekosistem akuatik adalah faktor fisik, kimia, dan bologi.
·         Parameter fisika dan kimia dalam ekosistem akuatik adalah suhu, pH, derajat kecerahan air, dessolve oxygen (DO), turbiditas, konduktivitas, dan salinitas.
·         Derajat kecerahan air diukur dengan menggunakan alat sechii disk dan hasilnya keruh.
·         Suhu air diukur dengan menggunakan alat thermometer air raksa, dan hasilnya hangat.
·         Kandungan oksigen terlarut diukur dengan menggunakan alat DO-meter dan hasilnya cukup baik.
·         Konduktivitas air diukur dengan manggunakan alat Conduktivity meter dan hasilnya terbilang cukup baik.
·         Derajat keasaman air diukur dengan menggunakan alat pH indikator universal dan hasilnya pH air netral.
·         Turbiditas air diukur dengan menggunakan alat turbidimeter dan hasilnya tergolong sedang yaitu 31,9 FTU.
5.2 Saran
·         Setiap kelompok sebaiknya memegang alat masing-masing agar praktikum menjadi lebih efektif.
·         Pengukuran sebaiknya dilakukan pada titik-titik yang berbeda.



DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Arsyad, Sitanala. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Medan. USU Press.
Mahanal, S. 2008. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Deteksi Kualitas Sungai dengan Indikator Biologi Berbasis Konstruktivistik untuk Memberdayakan Berpikir Kritis dan Sikap Siswa SMA terhadap Ekosistem Sungai di Malang. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pasca sarjana Universitas Negeri Malang.
Nybakken, J,W. 1992. Biologi Laut satu Pendekatan Ekologis. Jakarta. PT Gramedia.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Saunder Com. Philadelphia 125 pp.
Suripin. 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta. Andi Yogyakarta.
Setiadi, Dede. 1989. Dasar-dasar Ekologi. Bogor: IPB Press.
Suin NM. 2002. Metoda Ekologi. Padang.  Universitas Andalas.
Wibisono, M.S. 2004. Pengantar Ilmu Kelautan Edisi 2. Jakarta. UI Press
Wirakusumah, Sambas. 2003. Dasar-dasar Ekologi. Jakarta. UI Press.       


Jumat, 10 Agustus 2012

LAPORAN BENTOS


LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN


BENTOS


Nama                                   : MUTIA WIDI RIANI
NIM                                     : 1110095000016
Kelompok                            : 5
Asisten Dosen                      : Sayyidah Sofi
Tanggal Praktikum               : 18 April 2012





new-uin-logo
 








PROGRAM STUDI BIOLGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2012



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya, sehingga kondisi suatu sungai sangat dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki oleh lingkungan disekitarnya. Sebagai suatu ekosistem, perairan sungai mempunyai berbagai komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk suatu jalinan fungsional yang saling mempengaruhi. Komponen pada ekosistem sungai akan terintegrasi satu sama lainnya membentuk suatu aliran energi yang akan mendukung stabilitas ekosisten tersebut.
Bentos merupakan organisme perairan yang keberadaannya dapat dijadikan indikator perubahan kualitas biologi perairan sungai (Canter dan Hills, 1979). Hal ini disebabkan adanya respon yang berbeda terhadap suatu bahan pencemar yang masuk dalam perairan sungai dan bersifat immobile (Hynes, 1974; Hilsenshoff, 1977). Keadaan Sungai Semanggi yang terlihat kotor dan banyak sampah menjadi latar belakang kami untuk menjadikan keberadaan bentos di Sungai Semanggi sebagai objek penelitian dengan meneliti jumlah dan jenis bentos yang ada disana.

1.2 Tujuan Praktikum
1.      Mempelajari karakteristik ekosistem sungai dan faktor-faktor pembatasnya.
2.      Mempelajari teknik pengambilan data faktor fisik, kimia, biologik suatu perairan dan profil tepi.
3.      Menghitung dan mengidentifikasi bentos.
4.      Mempelajari kelimpahan dan indeks keanekaragaman (diversitas) bentos.
5.      Mempelajari korelasi faktor lingkungan dengan populasi bentos.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

 2.1 Ekosistem Sungai
Menurut Sandy (1985), dalam pergerakannya air selain melarutkan sesuatu, juga mengikis bumi, sehingga akhirnya terbentuklah cekungan dimana air tertampung melalui saluran kecil dan atau besar, yang disebut dengan alur sungai (badan sungai). Lebih jauh dikemukakan bahwa aliran sungai di bagian luarnya dibatasi oleh bagian batuan yang keras yang disebut dengan tanggul sungai.
Ekosistem sungai (lotik) dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan zona krenal (mata) air yang umumnya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi menjadi rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat pada tebing-tebing yang curam, limnokrenal, yaitu mata air yang membentuk genangan air yang selanjutnya membentuk aliran sungai yang kecil dan beberapa mata air akan membentuk aliran sungai di daerah pegunungan yang disebut zona rithral, ditandai dengan relief aliran sungai yang terjal. Zona ritral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu epirithral (bagian yang paling hulu), metarithral (bagian tengah), dan hyporithral (bagian yang paling akhir). Setelah melewati zona hyporithral, aliran sungai akan memasuki zona potamal, yaitu aliran sungai pada daerah-daerah yang relatif lebih landai dibandingkan dengan zona rithral. Zona potamal dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu epipotamal , metapotamal, dan hypopotamal (Barus, 2004).
Menurut Sandy (1985), nama bagian sungai dapat dibedakan menjadi empat yaitu, induk sungai, yang merupakan tubuh sungai yang terpanjang dan lebar mulai dari hulu sungai sampai ke hilir sungai, anak sungai adalah cabang-cabang sungai yang menyatu dengan induk sungai, alur anak cabang sungai, adalah cabang-cabang sungai yang menyatu dengan anak sungai,dan alur mati (creek), adalah alur-alur di bagian teratas yang kadang kala berair apabila hujan, dan pada waktu tidak ada hujan maka akan kering.
Ekosistem sungai secara tata ruang dapat dibagi menjadi dua bagian :
a. Ruang air yang berisi organisme hidup seperti tumbuhan air, plankton, ikan dan lain-lain.
b. Ruang dasar sungai yang berisi populasi bentik atau bentos yang hidup dalam dan atau menempel pada sedimen.
Secara ekologis organisme di perairan sungai dapat dibedakan menjadi dua zone atau subhabitat, yaitu :
a.  Subhabitat riam : merupakan bagian sungai yang airnya dangkal tetapi arusnya cukup kuat untuk mencegah terjadinya pengendapan sedimen dasar, sehingga dasar sungai bersifat keras. Pada daerah ini hidup organisme bentik atau perifiton khususnya yang dapat melekat atau berpegang erat pada substrat padat dan jenis ikan yang dapat berenang melawan arus.
b.  Subhabitat arus lambat : merupakan bagian sungai yang lebih dalam dan arusnya lebih lemah atau lambat dibandingkan subhabitat riam. Pada daerah ini partikel-partikel cenderung mengendap sebagai sedimen di dasar sungai. Pada daerah ini hidup organisme bentos, nekton dan kadang-kadang plankton (Suradi, 1993).
2.2 Makrozoobentos
Bentos adalah semua organisme air yang hidupnya terdapat pada substrat dasar suatu perairan, baik yang bersifat sesil (melekat) maupun vagil (bergerak bebas). Berdasarkan tempat hidupnya, bentos dapat dibedakan menjadi epifauna yaitu bentos yang hidupnya di atas substrat dasar perairan dan infauna,yaitu bentos yang hidupnya tertanam di dalam substrat dasar perairan. Berdasarkan siklus hidupnya bentos dapat dibagi menjadi holobentos, yaitu kelompok bentos yang seluruh hidupnya bersifat bentos dan merobentos, yaitu kelompok bentos yang hanya bersifat bentos pada fase-fase tertentu dari siklus hidupnya (Barus, 2004).
Menurut Lalli dan Pearsons (1993), hewan bentos dapat dikelompokkan berdasarkan ukuran tubuh yang bisa melewati lubang saring yang dipakai untuk memisahkan hewan dari sedimennya.
Berdasarkan kategori tersebut bentos dibagi atas :
a.  Makrozoobentos, kelompok hewan yang lebih besar dari 1,0 mm. Kelompok ini adalah hewan bentos yang terbesar, jenis hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca, annelida, crustaceae, beberapa insekta air dan larva dari diptera, odonata dan lain sebagainya.
b.  Mesobentos, kelompok bentos yang berukuran antara 0,1 mm -1,0 mm. Kelompok ini adalah hewan kecil yang dapat ditemukan di pasir atau lumpur. Hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca kecil, cacing kecil, dan crustaceae kecil.
c.  Mikrobentos, kelompok bentos yang berukuran lebih kecil dari 0,1 mm. Kelompok ini merupakan hewan yang terkecil. Hewan yang termasuk ke dalamnya adalah protozooa khususnya cilliata.
Rosenberg dan Resh (1993) menyatakan bahwa hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis yang tergolong ke dalam kelompok makroinvertebrata air. Makroinvertebrata air dikenal juga dengan istilah makrozoobentos.
Hewan ini memegang peranan penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan. Hewan bentos, terutama yang bersifat herbivor dan detrivor dapat menghancurkan makrofit akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan (Lind, 1985).
Odum (1994) menyatakan makroinvertebrata air (makrozoobenthos) memegang peranan penting dalam ekosistem perairan dan menduduki beberapa tingkatan trofik pada rantai makanan. Kedudukan makroinvertebrata air di dalam tingkatan trofik digolongkan ke dalam kelompok :
a.  Grazers dan Serapers, adalah herbivor pemakan tumbuhan air dan periphyton. Taksa yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Ecdyonurus sp. (Ephemeroptera), Gastropoda, Elmis sp. dan Latelmis sp. (Coleoptera).
b. Shredders adalah detritivor pemakan partikel organik kasar. Takson yang tergolong ke dalam golongan ini adalah Tipula sp. (Diptera), Neumora sp. (Plecoptera).
c. Collector adalah detritivor pemakan organik halus. Berdasarkan cara pengambilan makanannya collector dapat dibagi dua yaitu filter feeder dan deposit feeder. Golongan filter feeder adalah collector yang mengambil makanan dengan cara menyaring materi yang terlarut di dalam air. Karakteristik collector dari golongan ini adalah mempunyai fila di daerah mulut atau kaki sebagai alat pengumpul makanan. Taksa yang termasuk golongan filter feeder adalah Simulidae (Diptera), Rheotanytarsus sp., Hydropsyche sp. Golongan deposit feeder adalah collector yang mengambil makanan yang ada di permukaan dasar perairan. Taksa yang termasuk golongan ini adalah Chiromonidae, Orthoeladine, Diamesiae.
d. Predator adalah carnivor pemakan hewan lain. Taksa yang termasuk golongan ini adalah Tanypodidae (Diptera), Perla sp.,(Plecoptera) dan Hirudinae.
Sebagai organisme dasar perairan, bentos memiliki habitat yang relatif tetap. Dengan sifat yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kemelimpahannya. Komposisi maupun kemelimpahan makroinvertebrata tergantung kepada kepekaan/ toleransinya terhadap perubahan lingkungan. Setiap komunitas memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil, komposisi dan kemelimpahan makroinvertebrata air relatif tetap ( APHA, 1992 ).
Gaufin dalam Wilhm (1975) mengelompokkan spesies makrozobentos berdasarkan kepekaannya terhadap pencemaran karena bahan organik ke dalam kelompok :
a.  Intoleran, yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya organik. Organisme ini tidak dapat beradaptasi bila kondisi perairan mengalami penurunan kualitas.
b. Fakultatif, yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran kondisi lingkungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme intoleran. Walaupun organisme ini dapat bertahan hidup diperairan yang banyak bahan organik namun tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan.
c. Toleran, yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang luas, yaitu organisme yang sering dijumpai diperairan yang berkualitas jelek. Pada umumnya organisme tersebut tidak peka terhadap berbagai tekanan lingkungan dan kelimpahannya dapat bertambah diperairan yang tercemar oleh bahan organik.
2.3 Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas Air
Pengkajian kualitas perairan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan analisis fisika dan kimia air serta analisis biologi. Untuk perairan yang dinamis, analisis fisika dan kimia air kurang memberikan gambaran sesungguhnya akan kualitas perairan, sedangkan analisis biologi khususnya analisis struktur komunitas hewan bentos, dapat memberikan gambaran yang jelas tentang kualitas perairan. Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke habitatnya. Di antara hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk makrozoobentos (Pradinda, 2008).
Bioindikator adalah kelompok atau komunitas organisme yang keberadaannya dan perilakunya di alam berhubungan dengan kondisi lingkungan, apabila terjadi perubahan kualitas air maka akan berpengaruh terhadap keberadaan dan perilaku organisme tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai penunjuk kualitas lingkungan (Triadmodjo, 2008).
2.4 Faktor Fisika - Kimia yang Mempengaruhi Komunitas Makrozoobentos
Menurut Nybakken (1992), sifat fisika-kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, seperti makrozoobentos, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik (fisika- kimia) perairan, karena antara faktor abiotik dan biotik saling berinteraksi. Menurut Barus (2004), dengan mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisme dengan faktor-faktor abiotiknya maka akan diperoleh gambaran tentang kondisi dan kualitas perairan.
Faktor abiotik (fisika-kimia) perairan yang mempengaruhi komunitas makrozoobentos antara lain:
2.4.1 Kecepatan arus
Kecepatan arus dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian antara bagian hilir dan hulu (topografi) badan air, dimana semakin tinggi perbedaan ketinggian (elevasi) tersebut maka arus semakin kuat. Kecepatan arus akan mempengaruhi komposisi substrat dasar (sedimen) dan juga akan mempengaruhi aktifitas makrozoobentos yang ada. Kaitannya dengan kecepatan arus Odum (1971) dalam Suradi (1993) menyebutkan tujuh bentuk adaptasi yang dilakukan makrozoobentos, yaitu:
a. Membentuk kait dan alat pelekat
b. Melekat pada substrat yang kokoh.
c. Bentuk tubuh yang sesuai.
d. Tubuh pipih.
e. Reotaksis positif.
f. Tigmotaksis positif.
g. Bagian tubuh melekat.

Kecepatan arus merupakan salah satu faktor penentu kemelimpahan dan keanekaragaman makrozoobentos. Pada perairan yang relatif tenang dan banyak ditumbuhi tumbuhan air biasanya banyak ditemukan kelompok Molusca sedangkan perairan dengan arus kuat atau jeram banyak ditemukan makrozoobentos dari kelompok Insekta dan Hirudinae (Koesbiono, 1979).
Organisme yang ada di dasar sungai bergantung kepada sifat dasar sungainya. Dasar sungai tergantung kepada kecepatan arus air jika aliran sungai deras, maka dasar sungai mengandung kerikil dan pasir. Jika arus hampir diam, maka dasar sungai adalah lumpur (Sastrawidjaya, 1991).
2.4.2 Temperatur Air
Dalam setiap penelitian pada ekosistem akuatik, pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di air serta semua aktivitas biologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut hukum Van’ Hoffs kenaikan temperatur sebesar 100 C (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat. Pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi (Brehm dan Meijering, 1990 dalam Barus, 2004).
Temperatur air pada suatu perairan merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan dan distribusi makroinvertebrata air. Pada umumnya temperatur di atas 300C dapat menekan populasi makroinvertebrata air (Odum, 1994). Welch (1980) menyatakan bahwa hewan makroinvertebrata air pada masa perkembangan awal sangat rentan terhadap temperatur tinggi dan pada tingkatan tertentu dapat mempercepat siklus hidup sehingga lebih cepat dewasa. James dan Evison (1979)
menyatakan bahwa temperatur yang tinggi menyebabkan semakin rendahnya kelarutan oksigen yang menyebabkan sulitnya organisme akuatik dalam melakukan respirasi karena rendahnya kadar oksigen terlarut.
2.4.3 Penetrasi Cahaya
Kemampuan penetrasi cahaya sampai dengan kedalaman tertentu juga akan mempengaruhi distribusi dan intensitas fotosintesis tumbuhan air dibadan perairan (Brower et al., 1990). Menurut Koesbiono (1979), pengaruh utama dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok. Sehingga menurunkan aktifitas fotosintesis fitoplankton dan alga, akibatnya menurunkan produktivitas perairan.
Muatan padatan tersuspensi dan kekeruhan, menurut Sandy (1985) sangat dipengaruhi oleh musim. Pada waktu musim penghujan kandungan lumpur relatif lebih tinggi karena besaran laju erosi yang terjadi; sedangkan pada musim kemarau tingkat kekeruhan air sungai dipengaruhi oleh laju aliran air yang terbatas menoreh hasil-hasil endapan sungai.
Menurut Sastrawijaya (1991), cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau zat terlarut tinggi. Berkurangnya cahaya matahari disebabkan karena banyaknya faktor antara lain adanya bahan yang tidak larut seperti debu, tanah liat maupun mikroorganisme air yang mengakibatkan air menjadi keruh.
2.4.4 Intensitas Cahaya
Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Vegetasi yang ada disepanjang aliran air juga dapat mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke mengabsorbsi cahaya matahari. Efek ini terutama akan terlihat pada daerah hulu yang aliran airnya umumnya masih kecil dan sempit.
Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Larva dari Baetis rhodani akan bereaksi terhadap perubahan intensitas cahaya, dimana jika intensitas cahaya matahari berkurang, hewan ini akan ke luar dari tempat perlindungannya yang terdapat pada bagian bawah dari bebatuan didasar perairan, bergerak menuju ke bagian atas bebatuan untuk mencari makanan (Barus, 2004).
2.4.5 DO (Disolved Oxygen)
Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air, yaitu untuk respirasi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi temperatur, dimana kelarutan maksimum oksigen di dalam air pada temperatur 00 C sebesar 14,16 mg/l O2, kelarutan ini akan menurun jika temperatur air meningkat (Barus, 2004).
Menurut Sanusi (2004), nilai DO yang berkisar di antara 5,45 – 7,00 mg/l cukup bagi proses kehidupan biota perairan. Barus (2004), menegaskan bahwa nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar antara 6 – 8 mg/l, makin rendah nilai DO maka makin tinggi tingkat pencemaran ekosistem tersebut.
Kadar organik adalah satu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan makrozoobentos, dimana kadar organik ini adalah sebagai nutrisi bagi makrozoobentos tersebut. Tingginya kadar organik pada suatu perairan umumnya akan mengakibatkan meningkatnya jumlah populasi hewan bentos dan sebagai organisme dasar, bentos menyukai substrat yang kaya akan bahan organik. Maka pada perairan yang kaya bahan organik, umumnya terjadi peningkatan populasi hewan bentos (Koesbiono, 1979).


2.5 Indeks Keanekaragaman
Penggunaan bentos sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan dalam bentuk indeks biologi.  Cara ini telah dikenal sejak abad ke 19 dengan pemikiran bahwa terdapat kelompok organisme tertentu yang hidup di perairan tercemar.  Jenis-jenis organisme ini berbeda dengan jenis-jenis organisme yang hidup di perairan tidak tercemar.  Kemudian oleh para ahli biologi perairan, pengetahuan ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan komposisi organisme perairan karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator kualitas perairan (Rosenberg, 1993).
Indeks diversitas mungkin hasil dari kombinasi kekayaan dan kesamaan spesies .Ada nilai indeks diversitas yang sama didapat dari komunitas  dengan kekayaan yang rendah dan tinggi kesamaan kalau suatu komunitas yang sama didapat  dari  komunitas  dengan  kekayaan  tinggi  dan  kesamaan  rendah .  Jika  hanya memberikan nilai indeks diversitas, tidak mungkin untuk mengatakan apa pentingnya relatif kekayaan dan kesamaan spesies . Diversitas dipresentasikan oleh Hill (1973 b) dengan lebih mudah secara ekologi.



 

Dimana  Pi = ukuran individu (atau biomas, dll) yang dimiliki oleh satu spesies.Hill menunjukkan bahwa urutan 0, 1, dan 2 dari jumlah diversitas. Jumlah Diversitas Hill adalah:
Jumlah  0 :   N0  =   S     dimana  S  adalah jumlah total spesies 
Jumlah 1  :   N1  =   e H’dimana   H adalah indeks Shanon
Jumlah 2  :   N2  =   1/λ   dimana  λ adalah indeks  Simpson.
Jumlah diversitas  ini dalam unit-unit, jumlah spesies dihitung disebut oleh Hill sebagai  jumlah  spesies  efektif  yang  ada  dalam  sampel.  Jumlah  spesies  efektif  ini adalah  suatu  hitungan  untuk  kelimpahan sebanding yang  didistribusikan  diantara spesies.  Lebih  jelasnya,  N0  adalah  jumlah  semua  spesies  dalam  sampel  (tanpa memperhatikan  kelimpahannya),  N2  adalah  jumlah  spesies  yang  paling  melimpah dan  N1  adalah  jumlah  spesies  yang  melimpah (N1  selalu  diantara  N0  dan  N2). Dengan  kata  lain,  jumlah  spesies  efektif  adalah  suatu  hitungan  dari  jumlah  spesies dalam sampel dimana tiap spesies dipengaruhi oleh kelimpahannya. Contoh: sampel dengan  11 spesies dan 100 individu dimana kelimpahan tersebar sebagai 90, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1. Hanya  1 spesies  yang sangat melimpah, diduga  N2 mendekati (N2 = 1,23). N0 = 11 dan N1 = 1,74. Jadi unit Hill,s adalah spesies yang jumlahnya meningkat : 1) kurang lebar ditempati spesies jarang (disebut N0, jumlah yang paling rendah,  adalah  jumlah  semua  spesies  dalam  sampel), 2).  Nilai  lebih  rendah dihasilkan  dari  N1  dan  N2,  menunjukkan  melimpah  dan  sangat  melimpah  dalam sampel.
Kriteria  komunitas  lingkungan  berdasarkan ndeks  Keanekaragaman  Jenis  menurut Lee et  al. (1978) dalam Soegianto (1994) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1.  Kriteria Komunitas Lingkungan Berdasarkan Indeks Keanekaragaman
Indeks Keanekaragaman Jenis
Kriteria Indeks Keanekaragaman Jenis

> 2,0 
Tinggi
≤ 2,0  
Sedang

< 1,6 
Rendah

< 1,0  
Sangat rendah


2.5.1        Indeks Kemerataan (E)
            Nilai  indeks  kemerataan  jenis  dapat  menggambarkan  kestabilan suatu  komunitas.  Nilai indeks  kemerataan  (E)  berkisar  antara  0-1. Semakin  kecil  nilai  E  atau  mendekati  nol,  maka  semakin  tidak  merata penyebaran  organismee  dalam  komunitas  tersebut  yang  didominansi  oleh jenis  tertentu  dan  sebaliknya  semakin  besar  nilai  E  atau  mendekati  satu, maka  organismee  dalam  komunitas  akan  menyebar  secara  merata  (Krebs, 1989). Rumus dari  indeks  keseragaman  Pielou  (E)  menurut  Pielou  (1966) dalam Odum (1983) yaitu sebagai berikut :
E= H’ / lnS
Keterangan :
E  =Indeks Keseragaman 
H’  = Indeks Keanekaragaman 
S  = Jumlah spesies 
Sebaran  fauna  seimbang  atau  merata  apabila  mempunyai  nilai  indeks  kemerataan  jenis  yang  berkisar  antara  0,6 -  0,8  (Odum,  1963).  Berikut disajikan tabel kondisi suatu komunitas perairan berdasarkan nilai  indeks kemerataan menurut Krebs (1989) pada Tabel 2. 
      Tabel 2.  Kriteria Komunitas Lingkungan Berdasarkan Indeks Kemerataan
Nilai Indeks Kemerataan (E) 
Kondisi Komunitas
0,00 < E   0,50 
Komunitas berada pada kondisi tertekan
0,50 < E   0,75 
Komunitas berada pada kondisi labil
0,75 < E   1,00 
Komunitas berada pada kondisi stabil

2.5.2        Indeks Simpson
Indeks Simpson memberikan probabilitas dari setiap dua individu diambil secara acak dari sebuah komunitas besar tak berhingga milik spesies yang berbeda. Itu Simpson indeks karena itu dinyatakan sebagai 1-D atau 1 / D. Indeks Simpson adalah ditimbang berat terhadap spesies yang paling melimpah dalam sampel sementara menjadi kurang sensitif terhadap kekayaan spesies. Telah ditunjukkan bahwa setelah jumlah spesies melebihi 10 kelimpahan spesies yang mendasari distribusi adalah penting dalam menentukan apakah indeks tersebut memiliki tinggi atau rendah nilai. Nilai D yang berdiri untuk indeks dominasi digunakan dalam studi pemantauan polusi. Sebagai D meningkat, keragaman menurun. Dengan cara itu efektif digunakan di Dampak Lingkungan. Penilaian untuk mengidentifikasi perturbasi.
                                                   λ = Σ Pi2
 Dimana:  Pi  adalah kelimpahan proporsial tiap spesies dengan Pi = ni,       i = 1, 2, 3, . . . . 5 dimana ni adalah jumlah individu pada spesies itu, N  adalah  jumlah  total  inidividu  yang  diketahui  untuk  semua  S  spesies  dalam populasi itu nilai indeks ini dari 0 – 1 menunjukkan kemungkinan bahwa 2 individu yang  diambil  secara  random  dari  suatu  populasi  untuk  spesies  yang  sama  .  Jika kemungkinan  itu  tinggi  bahwa  ke-2  individu  mempunyai  spesies  yang  sama  ,  maka diversitas  komunitas  sampel  itu  rendah.  Rumus  di  atas  hanya  digunakan  untuk komunitas  yang  terbatas  dimana  semua  anggota  dapat dihitung.  Untuk  komunitas yang tidak terbatas dibuat pembiasannya:
λ = Σ     ni(ni-1)
i=1      n(n-1)
2.5.3 Indeks Shannon
            Indeks ini didasarkan  pada teori informasi dan merupakan suatu hitungan rata-rata yang tidak pasti dalam memprediksi individu spesies apa yang dipilih secara random dari  koleksi  S  spesies    dan  individual  N  akan  dimiliki  .  Rata-rata  ini  naik  dengan naiknya  jumlah  spesies  dan  distribusi  individu  antara  spesies-spesies  menjadi sama/merata . Ada 2 hal yang dimiliki oleh indeks Shanon yaitu ;
1.  H’=0 jika dan hanya jika ada satu spesies dalam sampel.
2.  H’  adalah  maksimum  hanya  ketika  semua  spesies  S  diwakili  oleh  jumlah individu  yang  sama,  ini  adalah  distribusi  kelimpahan  yang  merata  secara sempurna.
H’  =  -Σ (Pi LnPi)  dimana H’ adalah rata-rata.
                  i=1
Tidak  pasti  spesies  dalam  komunitas  yang  tidak  terbatas  membuat  S*  spesies yang  kelimpahan  proporsional  P1,  P2,  P3,  .  .  .  PS*.  S*  adan  Pi’S  adalah  parameter populasi dan dalam praktek H’ diduga dari suatu sampel sebagai :
                             H’   =   Σ     [ ( ni/N) Ln ( ni /N) ]
                              i=1             
      Dimana    ni    adalah  jumlah  individu  tiap  S  spesies  dalam  sampel  dan    n    adalah jumlah total individu dalam dalam sampel. Jika n lebih besar, biasanya akan menjadi lebih kecil.

2.5.4 Indeks Brillovin
Indeks keanekaragaman Brillouin (HB), digunakan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan populasi organismee secara matematis agar lebih mudah dalam menganalisis informasi-informasi jumlah individu masing-masing jenis dalam suatu komunitas. Karena pengambilan sampel tidak secara acak, maka indeks keanekaragaman dihitung dengan menggunakan Indeks Brillouin (Brower et al., 1989). Indeks Brillouin digunakan sebagai pengganti indeks Shannon ketika keragaman non-acak contoh atau koleksi sedang diperkirakan.
2.5.5 Indeks Kekayaan
Indeks kekayaan spesies (S), yaitu jumlah total spesies dalam satu komunitas.  S  tergantung  dari  ukuran  sampel  (dan  waktu  yang  diperlukan  untuk  mencapainya),  ini dibatasi  sebagai  indeks  komperatif .  Karena  itu,  sejumlah  indeks diusulkan untuk menghitung kekayaan spesies  yang tergantung pada ukuran sampel. Ini disebabkan karena hubungan antara S dan jumlah total individu yang diobservasi , n, yang meningkat  dengan meningkatnya ukuran sampel. 
1.  Indeks Margalef (1958)    R1 = S - 1 
                                                   In (n)
2.  Indeks Menhirick (1964)  R2 =   S
                                                      √n
Peet (1974)  mengatakan jika asumsi bahwa ada hubungan fungsional S dan n  dalam komunitas S = k√n, dimana K = konstan harus dapat dipertahankan. Jika tidak indeks  kekayaan  akan  berubah  dengan  ukuran  sampel. Salah  satu  alternatif    untuk  indeks kekayaan dengan menghitung secara langsung . Jumlah spesies dalam sampel dalam  ukuran  yang  sama.  Sedangkan  untuk  sampel  dengan  ukuran  yang  berbeda dipakai metode Statistika rafefraction. Hurlbernt  (1971)  menunjukkan  bahwa  jumlah  spesies  yang  dapat  diduga  dalam sampel  individu    n  (ditunjukkan  dengan  E  (Sn)  )  menggambarkan    penyebaran populasi total individu  N antara S spesies adalah :


 

             
Dimana,  ni  jumlah  individu  dari  satu  spesies.  Pendugaan  jumlah  spesies  dalam ukuran  sampel  random  n  sebagai  jumlah  kemungkinan  bahwa  setiap  spesies dimasukkan dalam sampel . Contoh : pada habitat 20 total 38 spesies(S), total burung 122  (N).  pendugaan  jumlah  spesies  pada  ukuran  sampel  yang  bebeda  yaitu,  E  (Sn), pada  n = 120, 110, 100 dan seterusnya. N menggambarkan parameter populasi . Bagaimanapun,  Peet  (1974)  menunjukkan  bahwa  untuk  2  komunitas  memiliki perbedaan  jumlah  individu  dan  kelimpahan  relatif,  rarefraction  memprediksikan bahwa  ke-2  komunitas  mempunyai  jumlah  spesies  yang sama  pada  ukuran  sampel yang  kecil.  Jadi,  ketika  menggunakan  metode  ini  ,  diasumsikan  bahwa  komunitas yang  dipelajari  tidak  beda  spesiesnya  –  hubungan  individu.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilakukan di danau sungai Semanggi, Ciputat Tanggerang selatan dan di Pusat Laboratirium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari  Selasa, 1 Mei 2012 pukul 13.00 WIB.
3.2 Alat dan Bahan
Praktikum kali ini menggunakan alat-alat pengukuran faktor abiotik ekosistem akuatik seperti meteran, termometer, kertas pH indikator, secchi disk, konduktimeter, turbidimeter, hand counter, ekman grab, botol vido, cawan petri, kaca pembesar, kamera, tongkat dan alat tulis, label, tali rafia, bola tenis meja, kompas, stop watch, dan kamera. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sampel air sungai, dan formalin 5 %.
3.2 Cara kerja
3.2.1. Profil Melintang Sungai
Ditentukan daerah sungai yang akan diteliti. Tali raffia dibentangkan dari tepi sungai satu ke tepi sungai yang lain. Diukur kedalaman sungai dalam interval tertentu misalnya 20 cm. Dipetakan hasil pengamatan pada kertas grafik. 
3.2.2. Mengukur Kecepatan Arus Sungai
            Ditentukan suatu jarak misalnya 1 meterpada sungai dengan arah dari huli ke hilir. Bola tenis meja dilepaskan dari awal sampai titik akhir yang telah ditentukan. Dicatat waktu tempuh benda yang dilepaskan tersebut.kecepatan diukur pada arus bagian ditepi dan ditengah sungai.
3.2.3 Teknik sampling, pengawetan, identifikasi dan analisis Bentos
Perairan sungai dibagi menjadi 5 titik. Diambil cuplikan Bentos pada masing-masing titik dengan cara mengambil substrat lumpur dasar perairan dengan segala organisme yang ada diatasnya dengan menggunakan Ekman Grab bervolume tertentu. Cuplikan lumpur yang mengandung bentos dimasukan kedalam wadah sampel. Dilakukan pemisahan antara substrat lumpur dan organisame bentos. Diberi larutan formalin 5% secukupnya untuk pengawetan dan ditutup rapat.  Dilakukan pengukuran faktor fisik meliputi suhu, kecerahan, derajar keasaman (pH), konduktivitas, dan turbiditas. Selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap bentos yang didapatkan dan dilakukan perhitungan keanekaragaman bentos.


3.3 Analisis Data
3.3.1.1 Shanon Wiener

Indeks diversitas atau indeks keanekaragaman bentos dihitung dengan menggunakan rumus Shannon- Wiener :
H’ =  -       atau         H’ =
Pi =
            Keterangan :
ni = jumlah individu tiap jenis
            N  = jumlah individu total
            H’ = Indeks keanekaragaman

3.3.1.2  Indeks Simpson
 Ds  =            1/D = E =      
Atau
Ds =      
Keterangan:
Ds = Indeks Simpson
ni   = jumlah individu spesies
N   = Jumlah individu
S  = Jumlah spesies
E   = Indeks kemerataan

3.3.1.3  Indeks Margalef
DMG  = 
Keterangan:
DMG = Indeks Margalef
N   = Jumlah individu
S  = Jumlah spesies

3.3.1.4  Indeks Menhinick
DMN  = 
Keterangan:
DMN = Indeks Menhinick
N   = Jumlah individu
S  = Jumlah spesies

3.3.1.5  Indeks Hill
N1 = eH’
N2 = 1/Ds
H’= indeks Shanoon
Ds = indeks Simpson

3.3.1.6  Indeks Brillovin
HB= (ln N! - ∑ ln n!) / N

3.3.1.7 Indeks Fisher alpha
S  = α ln ( 1+ N/ α)

BAB 1V
HASIL DAN PEMBAHASAN


Praktikum kali ini mengenai Bentos, dilakukan di Sungai Semanggi bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan faktor pembatas bentos berdasarkan keanekaragaman, kondisi, dan parameter lingkungan fisika dan kimia di Sungai Semanggi, Ciputat. Selain itu, penelitian bentos kali ini juga untuk mengetahui kondisi Sungai Semanggi karena bentos merupakan organisme perairan yang keberadaannya dapat dijadikan indikator perubahan kualitas biologi perairan sungai (Canter dan Hills, 1979).
Pengukuran faktor fisik dan kimia dalam penelitian keberadaan bentos di Sungai Semanggi didapatkan hasil pengukuran sebagai berikut.
Tabel 4.1 Pengukuran faktor abiotik ekosistem perairan Sungai Semanggi
No
 Pengukuran
Hasil 
1
 pH
 6,5
2
 Suhu
 29,9 °C
3
 Turbiditas
 15,88 FTU
4
 Kecerahan
 36,42 cm
5
 Kecepatan Arus
 0,678 m/s
6
Konduktivitas
 0,14 ms
7
 Lebar sungai
 6,42 m
Tabel diatas merupakan data hasil pengukuran faktor fisik dan kimia. Faktor fisik berupa temperatur, kecerahan, kekeruhan dan konduktivitas air. Faktor kimia meliputi Derajat Keasaman (pH) dalam air, faktor fisik dan kimia tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi hasil penelitian keberadaan bentos di perairan Sungai Semanggi
Hasil pengukuran faktor kimia yang pertama yaitu derajat keasaman air (pH) dilakukan dengan menggunakan pH-meter dan didapatkan hasil sebesar 6,5. Hasil tersebut menunjukkan bahwa air Sungai Semanggi bersifat asam karena pH kurang dari 7. Kandungan pH dalam suatu perairan dapat berubah-ubah sepanjang hari akibat dari proses fotosintesis tumbuhan air. Derajat keasaman suatu perairan juga sangat menentukan kelangsungan hidup organisme dan merupakan resultan sifat kimia, fisika perairan (Welch, 1952).
Perairan yang memiliki kadar pH ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Hasil pengukuran pH air Sungai Semanggi sebesar 6,5 menunjukan kondisi perairan yang asam dan akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya berbagai gangguan seperti gangguan metabolisme dan respirasi termasuk pada bentos (Barus, 2004).
            Pengamatan selanjutnya yaitu pada faktor fisik perairan danau Sungai Semanggi, yang pertama adalah temperatur air. Hasil pengukuran temperatur air dilakukan dengan menggunakan termometer didapatkan hasil 29,9 °C. Kondisi temperatur air Sungai Semanggi menunjukkan kisaran suhu yang cukup tinggi karena pengamatan dilakukan pada saat terik matahari. Tinggi rendahnya nilai temperatur suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan organisme air termasuk bentos. Tingginya nilai temperatur dapat mempengaruhi jumlah, jenis, dan persebaran bentos dalam suatu ekosistem. Peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dan udara dan dari proses fotosintesis (Barus, 2004).
Pengamatan faktor fisik selanjutnya yaitu pada kecerahan air dengan menggunakan Secchi disk didapatkan hasil pengukuran sebesar 36,42 cm. Hasil tersebut menunjukkan hasil kecerahan air yang cukup baik. Hal tersebut dikarenakan kondisi pengamatan pada saat siang hari yang terik sehingga cahaya matahari dapat menembus kekeruhan air. Selain itu, mungkin disebabkan karena perairan tersebut masih terdapat sedikit liat, lumpur, atau lainnya yang mengendap yang memisahkan nilai guna dasar perairan yang merupakan daerah habitat organisme (Subarjanti, 2005).
Pengukuran faktor fisik yang ketiga yaitu pengukuran kekeruhan air dengan menggunakan turbidimeter didapatkan hasil dengan nilai 15,88 FTU (Formazin Turbidity Unit). Hasil tersebut menunjukkan bahwa kekeruhan air Sungai Semanggi tergolong baik dalam kualitas standar karena tingkat kekeruhannya belum mencapai 1000 FTU. Jika tingkat kekeruhannya telah mencapai 1000 FTU menunjukan kondisi perairan telah banyak tercemar oleh sampah-sampah organik maupun anorganik. Kekeruhan akan mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk.  Penetrasi cahaya merupakan faktor pembatas bagi organismee fotosintetik dan juga mempengaruhi migrasi vertikal harian dan dapat pula mengakibatkan kematian pada organisme tertentu (Barus, 2001).
Pengukuran faktor fisik yang terakhir adalah pengukuran konduktivitas air dengan menggunakan conductivity-meter didapatkan hasil senilai  0,14 ms. Hal tersebut menunjukan baiknya kualitas air Sungai Semanggi karena garam-garam yang terlarut di dalam air sungai Semanggi cukup besar dan memiliki potensi sebagai penghantar arus listrik yang baik. Hasil ini dipengaruhi oleh kecerahan yaitu semakin besar nilai konduktivitas maka semakin tinggi pula tingkat kecerahan. Hal ini juga bisa disebabkan proses dekomposisi bahan organik menyebabkan pelepasan senyawa anorganik yang akan memperkaya kandungan ion dalam perairan sehingga meningkatkan konduktivitas.
Hasil pengukuran lebar sungai sebesar 6,42 m dipengaruhi juga oleh kecepatan arus sungai. Semakin lebar sungai dapat menurunkan kecepatan arus sungai. Kecepatan arus sebesar 0,678 m/s menunjukkan bahwa arus yang terdapat di Sungai Semanggi tersebut cukup deras. Kecepatan arus dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian antara bagian hilir dan hulu (topografi) badan air, dimana semakin tinggi perbedaan ketinggian (elevasi) tersebut maka arus semakin kuat. Kecepatan arus akan mempengaruhi komposisi substrat dasar (sedimen) dan juga akan mempengaruhi aktifitas makrozoobentos yang ada. Kecepatan arus merupakan salah satu faktor penentu kemelimpahan dan keanekaragaman makrozoobentos. Perairan yang relatif tenang dan banyak ditumbuhi tumbuhan air biasanya banyak ditemukan kelompok Molusca sedangkan perairan dengan arus kuat atau jeram banyak ditemukan makrozoobentos dari kelompok Insekta dan Hirudinae (Koesbiono, 1979).
Sampel diambil menggunakan Eckmann grab, kemudian diidentifikasi di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan hasil 10 jenis bentos antara lain Pila sp., Melanoides punctata, Hirudinea sp., Cacing Sutra, Belamya sp., Thiara scabia, Melanoides macculata, Parathelpus sp., Artentome sp. dan  Syncera sp. Perhitungan menggunakan berbagai indeks keanekaragaman dan kemerataan didapatkan hasil sebagai berikut.


Grafik 1 merupakan hasil analisis pengamatan dengan menggunakan indeks Shannon Wiener. Berdasarkan grafik 1, terlihat nilai indeks keanekaragaman tertinggi pada titik ke-5 yaitu 1,466 dan terendah pada titik ke-1 yaitu 0,476.  Hal ini menunjukkan nilai keanekaragamannya tergolong rendah rendah karena H’<1 adalah="adalah" banyak="banyak" batu="batu" bentos="bentos" cacing="cacing" dan="dan" dapat="dapat" di="di" dikarenakan="dikarenakan" dipengaruhi="dipengaruhi" diperairan="diperairan" disebabkan="disebabkan" ditemukan="ditemukan" hasil="hasil" jenis="jenis" kandungan="kandungan" karena="karena" keanekaragaman="keanekaragaman" lainnya="lainnya" lebih="lebih" lingkungan="lingkungan" lumpur.="lumpur." oksigen.="oksigen." oleh="oleh" organisme="organisme" parameter="parameter" perbedaan="perbedaan" ph="ph" rendahnya="rendahnya" sehingga="sehingga" semanggi="semanggi" seperti="seperti" span="span" substrat="substrat" suhu="suhu" sungai="sungai" sutra="sutra" tersebut="tersebut">  dan jenis bentos Melanoides punctata.
Indeks kemerataan (E) pada grafik 1 memperlihatkan hasil kemerataan tertinggi pada titik ke-5 yaitu sebesar 0,91 dan yang terendah pada titik ke-1 yaitu sebesar 0,34. Indeks kemerataan yang tinggi mendekati 1 menunjukkan persebaran atau pemerataan individu bentos tersebar secara merata pada wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan dari jumlah masing-masing spesies yang ditemukan pada wilayah tersebut, jumlahnya tidak ada yang mendominasi antara satu spesies dengan jumlah spesies lainnya.
Berdasarkan indeks diversitas Shannon-Wiener dapat diketahui bahwa kualitas perairan Sungai Semanggi tergolong buruk (0,81-1,60). Terbukti dengan ditemukannya banyak sampah dan kotoran pada saat pengamatan. Sampah yang terbawa arus sungai dapat menyebabkan kekeruhan sungai meningkat dan akan mengganggu kehidupan organisme bentos yang ada.   


Grafik 2 merupakan hasil analisis indeks keanekaragaman dan kemerataan dengan menngunakan indeks Simpson. Berdasarkan grafik 2, diketahui bahwa nilai indeks keanekaragaman (Ds) tertinggi pada titik ke-5 yaitu 0,78 dan terendah pada titik ke-1 yaitu 0,196. Sedangkan indeks Simpson E tertinggi pada titik 5 yaitu 1,02 dan terendah pada titik 1 yaitu 0,3205. 
Indeks Simpson memberikan kemungkinan acak dari data yang dianalisis dari sebuah komunitas besar tak berhingga milik spesies yang berbeda. Berdasarkan indeks keanekaragaman nilai tertinggi pada titik ke-5 termasuk kategori sangat rendah (<1 0="0" 1988="1988" analisis="analisis" berada="berada" berdasarkan="berdasarkan" dapat="dapat" data="data" diketahui="diketahui" e="e" hasil="hasil" kategori="kategori" ke-1="ke-1" ke-5="ke-5" kedalam="kedalam" komunitas="komunitas" kondisi="kondisi" lingkungan="lingkungan" pada="pada" rebs="rebs" sedangkan="sedangkan" span="span" stabil="stabil" termasuk="termasuk" tersebut="tersebut" tertekan="tertekan" titik="titik">

Grafik 3. Indeks Margalef, Menhinick, dan Fisher alpha pada Setiap Titik

Grafik 3 merupakan hasil analisis indeks diversitas bentos dengan menggunakan indeks Menhinick, Margalef, dan Fisher. Indeks Margalef dan Menhinick adalah indeks untuk mengukur kekayaan spesies berdasarkan ukuran sampel. Berdasarkan grafik diatas, dapat diketahui nilai indeks Menhinick tertinggi pada titik ke-5 yaitu 1,443 dan terendah pada titik ke-1 yaitu 0,603. Sedangkan indeks Margalef tertinggi pada titik ke-5 yaitu 1,6 dan terendah pada titik ke-1 yaitu 0,79. Berdasarkan hasil perhitungan nilai tertinggi kedua indeks berada pada titik ke-5. Sedangkan nilai indeks keanekaragaman Fisher tertinggi pada titik 4 yaitu 5,85 dan terendah pada titik 1 yaitu 1,0335. Berdasarkan grafik 3, dapat diketahui bahwa titik 4 memeliki keanekaragaman yang tinggi tinggi (>2,0) sedangkan titik 1 termasuk kriteria rendah (<1 ee="ee" i="i">et al. ,
1978 dalam Sugiarto, 2007 ).





Grafik 4. Indeks Keanekaragaman Hill N1 dan N2 pada setiap titik

Grafik 4 merupakan hasil analisis data pengamatan dengan menggunakan perhitungan indeks Shannon sehingga diperoleh nilai indeks Hill. Berdasalkan hasil perhitungan, didapatkan nilai N1 tertinggi pada titik ke-5 yaitu 4,334 dan terendah pada titik ke-1 yaitu 0,21. Sedangkan nilai N2 tertinggi juga pada titik ke-5 yaitu 5,1 dan terendah juga pada titik ke-1 yaitu 1,28. N2  adalah  jumlah  spesies  yang  paling  melimpah dan  N1  adalah  jumlah  spesies  yang  melimpah  (N1  selalu  diantara  N0  dan  N2).

Grafik 5. Indeks Brillovin pada setiap titik
Grafik 5 merupakan hasil analisis data pengamatan dengan menggunakan perhitungan indeks Shannon sehingga diperoleh nilai indeks brillivon. Berdasarkan grafik 5, diketahui hasil perhitungan tertinggi pada titik ke-4 yaitu 1,71 dan terendah pada titik ke-1 yaitu 0,39. Indeks keanekaragaman Brillouin (HB), digunakan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan populasi organisme secara matematis agar lebih mudah dalam menganalisis informasi-informasi jumlah individu masing-masing jenis dalam suatu komunitas. Indeks Brillouin digunakan sebagai pengganti indeks Shannon ketika keragaman non-acak contoh atau koleksi sedang diperkirakan. Karena pengambilan sampel tidak secara acak, maka indeks keanekaragaman dihitung dengan menggunakan Indeks Brillouin (Brower et al., 1989). Berdasarkan kriteria komunitas lingkungan dengan menggunakan indeks keanekaragaman nilai tertinggi pada titik 4 tergolong kategori sedang (<2 4="4" 6="6" banyak="banyak" dikarenakan="dikarenakan" hal="hal" ini="ini" jumlah="jumlah" memiliki="memiliki" paling="paling" span="span" spesies.="spesies." spesies="spesies" titik="titik" yaitu="yaitu">
           





































Gambar 1. Profil melintang sungai Semanggi pada titik 5
Gambar diatas merupakan profil tepi dari titik pengamatan kelompok 5 di Sungai Semanggi, Ciputat. Berdasarkan gambar diatas, terlihat ilustrasi hasil pengamatan yang didapatkan dari kelompok 5, yaitu kedalaman yang diukur setiap interval 20 cm sepanjang 5 meter. Hasil pengukuran didapatkan hasil kedalaman paling dalam adalah  cm. Jenis bentos yang didapatkan pada titik ini antara lain Bellamya sp., Melanoides punctata, Melanoides macculata, Pila sp., cacing Sutra (Annelida), dan yang paling mendominasi adalah jenis Melanoides punctata. Hal ini dikarenakan Melanoides punctata merupakan jenis bentos yang hidup di dalam substrat batu dan sedikit lumpur sehingga tahan terhadap arus. Begitupun dengan jenis gastropoda lainnya. Cacing sutra yang ditemukan merupakan detritus diperairan sungai tersebut karena tersedianya bahan-bahan dan limbah organik.
Berdasarkan hasil pengamatan profil tepi, diketahui bahwa kualitas perairan Sungai Semanggi pada titik 5 hanya didapatkan 5 spesies berarti termasuk kategori jelek (3-5), karena kualitas lingkungan yang sangat baik memiliki keanekaragaman fauna sebanyak 15 spesies dan fauna sebanyak >30 spesies (Probosunu, 2008). Dasar perairan yang kedalaman airnya berbeda akan dihuni oleh bentos yang berbeda pula, sehingga terjadi stratifikasi komunitas menurut kedalaman.  Pada perairan yang lebih dalam bentos mendapat tekanan fisiologis dan hidrostatis yang lebih besar.  Karena itu bentos yang hidup di perairan yang dalam ini tidak banyak (Setyobudiandi, I. 1997).                                                     
BAB V
KESIMPULAN

1.         Faktor yang mempengaruhi kelimpahan bentos di suatu perairan  adalah suhu, pH, kadar oksigen terlarut, temperatur dan kecerahan.
2.         Jenis bentos yang di temukan di setiap titik pengamatan di sungai Semanggi adalah jenis Pila sp. Melanoides macculata, dan Melanoides punctata.
3.         Keakekaragaman bentos di perairan sungai Semanggi termasuk buruk
4.         Kualitas air  di perairan sungai Semanggi termasuk tercemar sedang.
5.         Substrat di perairan sungai Semanggi adalah berlumpur dan lumpur berpasir.


DAFTAR PUSTAKA

Amini, S. 2008. Pertumbuhan Mikroalgae (nitzchia closterium) dengan Perlakuan pupuk. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan Jakarta
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.USU Press. Medan.
Boyd, C E. 1988.Water Quality in Warmwater Fish Pound  FourthPrinting. Auburn University Agricultural Experiment Station. Alabama.
Effendie, H. 2003.Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Dayadan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Fardiaz, S. 1992.Polusi Air dan Udara. Kanisus. Yogyakarta.
Fitriana, Y. R. 2006. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan
Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali.
Biodiversitas, (7): 67-72.
Gosling, E. 2003. Bivalve Molluscs. Biology, Ecology and Culture. Fishing News
Books, Blackwell Publishing. Great Britain. 455p
Hutabarat, S dan Evans, M., 1985.Pengantar Oseanografi. VC Press. Jakarta.
Lingga, Pinus. 1999.Ikan Mas Kolam Air Deras. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mahanal, S. 2008.Pengembangan Perangkat Pembelajaran Deteksi Kualitas Sungai dengan Indikator Biologi Berbasis Konstruktivistik untuk Memberdayakan Berpikir Kritis dan Sikap Siswa SMA terhadap Ekosistem Sungai di Malang. Disertasi tidak diterbitkan. Malang:Program Pasca sarjana Universitas Negeri Malang.
Nybakken, JW. 1992. Biologi Laut satu Pendekatan Ekologis. Jakarta. PT Gramedia.
Nybakken, JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta. PT. Gramedia.
Nybakken, JW. 1998. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta. PT. Gramedia.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Saunder Com. Philadelphia 125 pp.
Pescod. 1973.Investigation of Rational Effluent and StreamStandar for Tropical Countries. Asean institute of Technologi. Bangkok.
Prihantini, N. B. 2005. Pertumbuhan Chlorella spp. dalam medium ekstrak tauge(MET) dalam variasi pH awal. Vol 9: 1-6 diakses pada Sabtu, 14 April2012 pkl 20:06
Setiadi, Dede. 1989. Dasar-dasar Ekologi.IPB Press. Bogor.
Soeseno, S. 1970.Limnologi untuk Sekolah Perikanan Menengah Atas. IPB. Bogor.
Sumich, J. L., 1999. An Introduction to The Biology of Marine Life. 7 th. ed. McGraw-Hill. New York. pp: 73 – 90; 239 – 248; 321 - 329
Suripin.2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air.Yogyakarta. Andi Yogyakarta.
Suin NM. 2002. Metoda Ekologi. Universitas Andalas.Padang. 
Wardoyo, S. T. H. 1981.Kriteria Kualitas Air untuk KeperluanPertanian dan Perikanan. Training Analisa dampak lingkunganPPLH, UNDP- PUS DPSL. IPB. Bogor.
Welch, P. S. 1952.Limnology . McGraw-Hill Book Company. New York.
Wetzel, RG. And GE. Likens. 1995.Limnology Analysis. SpringerVerlag. New York.
Wibisono, M.S. 2004. Pengantar Ilmu Kelautan Edisi 2. UI Press. Jakarta.
Wirakusumah, Sambas. 2003. Dasar-dasar Ekologi. UI Press. Jakarta.