LAPORAN
PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN
BENTOS
Nama : MUTIA
WIDI RIANI
NIM
: 1110095000016
Kelompok
: 5
Asisten
Dosen : Sayyidah Sofi
Tanggal
Praktikum : 18 April 2012
PROGRAM
STUDI BIOLGI
FAKULTAS
SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sungai
merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur
hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area)
bagi daerah disekitarnya, sehingga kondisi suatu sungai sangat dipengaruhi oleh
karakteristik yang dimiliki oleh lingkungan disekitarnya. Sebagai suatu
ekosistem, perairan sungai mempunyai berbagai komponen biotik dan abiotik yang
saling berinteraksi membentuk suatu jalinan fungsional yang saling mempengaruhi.
Komponen pada ekosistem sungai akan terintegrasi satu sama lainnya membentuk
suatu aliran energi yang akan mendukung stabilitas ekosisten tersebut.
Bentos
merupakan organisme perairan yang keberadaannya dapat dijadikan indikator
perubahan kualitas biologi perairan sungai (Canter dan Hills, 1979). Hal
ini disebabkan adanya respon yang berbeda terhadap suatu bahan pencemar
yang masuk dalam perairan sungai dan bersifat immobile (Hynes,
1974; Hilsenshoff, 1977). Keadaan Sungai Semanggi yang terlihat kotor dan banyak
sampah menjadi latar belakang kami untuk menjadikan keberadaan bentos di Sungai
Semanggi sebagai objek penelitian dengan meneliti jumlah dan jenis bentos yang
ada disana.
1.2 Tujuan Praktikum
1.
Mempelajari
karakteristik ekosistem sungai dan faktor-faktor pembatasnya.
2.
Mempelajari
teknik pengambilan data faktor fisik, kimia, biologik suatu perairan dan profil
tepi.
3.
Menghitung
dan mengidentifikasi bentos.
4.
Mempelajari
kelimpahan dan indeks keanekaragaman (diversitas) bentos.
5.
Mempelajari
korelasi faktor lingkungan dengan populasi bentos.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Sungai
Menurut Sandy
(1985), dalam pergerakannya air selain melarutkan sesuatu, juga mengikis bumi,
sehingga akhirnya terbentuklah cekungan dimana air tertampung melalui saluran
kecil dan atau besar, yang disebut dengan alur sungai (badan sungai). Lebih
jauh dikemukakan bahwa aliran sungai di bagian luarnya dibatasi oleh bagian
batuan yang keras yang disebut dengan tanggul sungai.
Ekosistem sungai (lotik) dibagi menjadi
beberapa zona dimulai dengan zona krenal (mata) air yang umumnya terdapat di
daerah hulu. Zona krenal dibagi menjadi rheokrenal, yaitu mata air yang
berbentuk air terjun biasanya terdapat pada tebing-tebing yang curam,
limnokrenal, yaitu mata air yang membentuk genangan air yang selanjutnya
membentuk aliran sungai yang kecil dan beberapa mata air akan membentuk aliran
sungai di daerah pegunungan yang disebut zona rithral, ditandai dengan relief
aliran sungai yang terjal. Zona ritral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu epirithral
(bagian yang paling hulu), metarithral (bagian tengah), dan hyporithral
(bagian yang paling akhir). Setelah melewati zona hyporithral,
aliran sungai akan memasuki zona potamal, yaitu aliran sungai pada
daerah-daerah yang relatif lebih landai dibandingkan dengan zona rithral.
Zona potamal dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu epipotamal , metapotamal,
dan hypopotamal (Barus, 2004).
Menurut Sandy (1985), nama bagian sungai
dapat dibedakan menjadi empat yaitu, induk sungai, yang merupakan tubuh sungai
yang terpanjang dan lebar mulai dari hulu sungai sampai ke hilir sungai, anak
sungai adalah cabang-cabang sungai yang menyatu dengan induk sungai, alur anak
cabang sungai, adalah cabang-cabang sungai yang menyatu dengan anak sungai,dan
alur mati (creek), adalah alur-alur di bagian teratas yang kadang kala
berair apabila hujan, dan pada waktu tidak ada hujan maka akan kering.
Ekosistem sungai secara tata ruang
dapat dibagi menjadi dua bagian :
a.
Ruang air yang berisi organisme hidup seperti tumbuhan air, plankton, ikan dan
lain-lain.
b. Ruang dasar sungai
yang berisi populasi bentik atau bentos yang hidup dalam dan atau menempel pada
sedimen.
Secara
ekologis organisme di perairan sungai dapat dibedakan menjadi dua zone atau
subhabitat, yaitu :
a. Subhabitat riam : merupakan bagian sungai yang
airnya dangkal tetapi arusnya cukup kuat untuk mencegah terjadinya pengendapan
sedimen dasar, sehingga dasar sungai bersifat keras. Pada daerah ini hidup
organisme bentik atau perifiton khususnya yang dapat melekat atau berpegang
erat pada substrat padat dan jenis ikan yang dapat berenang melawan arus.
b. Subhabitat arus lambat : merupakan bagian
sungai yang lebih dalam dan arusnya lebih lemah atau lambat dibandingkan
subhabitat riam. Pada daerah ini partikel-partikel cenderung mengendap sebagai
sedimen di dasar sungai. Pada daerah ini hidup organisme bentos, nekton dan
kadang-kadang plankton (Suradi, 1993).
2.2
Makrozoobentos
Bentos adalah
semua organisme air yang hidupnya terdapat pada substrat dasar suatu perairan,
baik yang bersifat sesil (melekat) maupun vagil (bergerak bebas). Berdasarkan
tempat hidupnya, bentos dapat dibedakan menjadi epifauna yaitu bentos yang
hidupnya di atas substrat dasar perairan dan infauna,yaitu bentos yang hidupnya
tertanam di dalam substrat dasar perairan. Berdasarkan siklus hidupnya bentos
dapat dibagi menjadi holobentos, yaitu kelompok bentos yang seluruh hidupnya
bersifat bentos dan merobentos, yaitu kelompok bentos yang hanya bersifat
bentos pada fase-fase tertentu dari siklus hidupnya (Barus, 2004).
Menurut Lalli dan Pearsons (1993), hewan bentos dapat dikelompokkan
berdasarkan ukuran tubuh yang bisa melewati lubang saring yang dipakai untuk memisahkan
hewan dari sedimennya.
Berdasarkan kategori tersebut
bentos dibagi atas :
a. Makrozoobentos, kelompok hewan yang lebih
besar dari 1,0 mm. Kelompok ini adalah hewan bentos yang terbesar, jenis hewan
yang termasuk kelompok ini adalah molusca, annelida, crustaceae, beberapa
insekta air dan larva dari diptera, odonata dan lain sebagainya.
b. Mesobentos, kelompok bentos yang berukuran
antara 0,1 mm -1,0 mm. Kelompok ini adalah hewan kecil yang dapat ditemukan di
pasir atau lumpur. Hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca kecil,
cacing kecil, dan crustaceae kecil.
c. Mikrobentos, kelompok bentos yang berukuran
lebih kecil dari 0,1 mm. Kelompok ini merupakan hewan yang terkecil. Hewan yang
termasuk ke dalamnya adalah protozooa khususnya cilliata.
Rosenberg dan Resh
(1993) menyatakan bahwa hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka
terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis yang tergolong ke dalam
kelompok makroinvertebrata air. Makroinvertebrata air dikenal juga dengan
istilah makrozoobentos.
Hewan ini memegang
peranan penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan
mineralisasi material organik yang memasuki perairan. Hewan bentos, terutama
yang bersifat herbivor dan detrivor dapat menghancurkan makrofit akuatik yang
hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi
potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk
menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan (Lind, 1985).
Odum (1994) menyatakan makroinvertebrata air (makrozoobenthos) memegang
peranan penting dalam ekosistem perairan dan menduduki beberapa tingkatan
trofik pada rantai makanan. Kedudukan makroinvertebrata air di dalam tingkatan
trofik digolongkan ke dalam kelompok :
a. Grazers dan Serapers, adalah herbivor pemakan
tumbuhan air dan periphyton. Taksa yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Ecdyonurus
sp. (Ephemeroptera), Gastropoda, Elmis sp. dan Latelmis sp. (Coleoptera).
b. Shredders adalah
detritivor pemakan partikel organik kasar. Takson yang tergolong ke dalam
golongan ini adalah Tipula sp. (Diptera), Neumora sp. (Plecoptera).
c. Collector adalah
detritivor pemakan organik halus. Berdasarkan cara pengambilan makanannya collector
dapat dibagi dua yaitu filter feeder dan deposit feeder.
Golongan filter feeder adalah collector yang mengambil makanan
dengan cara menyaring materi yang terlarut di dalam air. Karakteristik collector
dari golongan ini adalah mempunyai fila di daerah mulut atau kaki sebagai
alat pengumpul makanan. Taksa yang termasuk golongan filter feeder adalah
Simulidae (Diptera), Rheotanytarsus sp., Hydropsyche sp. Golongan deposit
feeder adalah collector yang mengambil makanan yang ada di permukaan
dasar perairan. Taksa yang termasuk golongan ini adalah Chiromonidae,
Orthoeladine, Diamesiae.
d. Predator adalah
carnivor pemakan hewan lain. Taksa yang termasuk golongan ini adalah
Tanypodidae (Diptera), Perla sp.,(Plecoptera) dan Hirudinae.
Sebagai
organisme dasar perairan, bentos memiliki habitat yang relatif tetap. Dengan
sifat yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat
hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kemelimpahannya. Komposisi maupun
kemelimpahan makroinvertebrata tergantung kepada kepekaan/ toleransinya
terhadap perubahan lingkungan. Setiap komunitas memberikan respon terhadap
perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian diri pada struktur
komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil, komposisi dan kemelimpahan
makroinvertebrata air relatif tetap ( APHA, 1992 ).
Gaufin dalam Wilhm
(1975) mengelompokkan spesies makrozobentos berdasarkan kepekaannya terhadap
pencemaran karena bahan organik ke dalam kelompok :
a.
Intoleran, yaitu organisme yang dapat
tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang
dijumpai di perairan yang kaya organik. Organisme ini tidak dapat beradaptasi
bila kondisi perairan mengalami penurunan kualitas.
b.
Fakultatif, yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran kondisi
lingkungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme intoleran.
Walaupun organisme ini dapat bertahan hidup diperairan yang banyak bahan
organik namun tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan.
c. Toleran, yaitu
organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan
yang luas, yaitu organisme yang sering dijumpai diperairan yang berkualitas
jelek. Pada umumnya organisme tersebut tidak peka terhadap berbagai tekanan
lingkungan dan kelimpahannya dapat bertambah diperairan yang tercemar oleh
bahan organik.
2.3
Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas Air
Pengkajian
kualitas perairan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan analisis
fisika dan kimia air serta analisis biologi. Untuk perairan yang dinamis,
analisis fisika dan kimia air kurang memberikan gambaran sesungguhnya akan
kualitas perairan, sedangkan analisis biologi khususnya analisis struktur
komunitas hewan bentos, dapat memberikan gambaran yang jelas tentang kualitas
perairan. Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai
petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke
habitatnya. Di antara hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka
terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk
makrozoobentos (Pradinda, 2008).
Bioindikator adalah kelompok
atau komunitas organisme yang keberadaannya dan perilakunya di alam berhubungan
dengan kondisi lingkungan, apabila terjadi perubahan kualitas air maka akan
berpengaruh terhadap keberadaan dan perilaku organisme tersebut, sehingga dapat
digunakan sebagai penunjuk kualitas lingkungan (Triadmodjo, 2008).
2.4 Faktor
Fisika - Kimia yang Mempengaruhi Komunitas Makrozoobentos
Menurut
Nybakken (1992), sifat fisika-kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Oleh
karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, seperti
makrozoobentos, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik (fisika-
kimia) perairan, karena antara faktor abiotik dan biotik saling berinteraksi.
Menurut Barus (2004), dengan mempelajari aspek saling ketergantungan antara
organisme dengan faktor-faktor abiotiknya maka akan diperoleh gambaran tentang
kondisi dan kualitas perairan.
Faktor abiotik
(fisika-kimia) perairan yang mempengaruhi komunitas makrozoobentos antara lain:
2.4.1 Kecepatan arus
Kecepatan arus dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian antara bagian hilir
dan hulu (topografi) badan air, dimana semakin tinggi perbedaan ketinggian
(elevasi) tersebut maka arus semakin kuat. Kecepatan arus akan mempengaruhi
komposisi substrat dasar (sedimen) dan juga akan mempengaruhi aktifitas
makrozoobentos yang ada. Kaitannya dengan kecepatan arus Odum (1971) dalam Suradi
(1993) menyebutkan tujuh bentuk adaptasi yang dilakukan makrozoobentos, yaitu:
a. Membentuk kait dan alat
pelekat
b. Melekat pada substrat yang
kokoh.
c. Bentuk tubuh yang sesuai.
d. Tubuh pipih.
e. Reotaksis positif.
f. Tigmotaksis positif.
g. Bagian tubuh melekat.
Kecepatan
arus merupakan salah satu faktor penentu kemelimpahan dan keanekaragaman
makrozoobentos. Pada perairan yang relatif tenang dan banyak ditumbuhi tumbuhan
air biasanya banyak ditemukan kelompok Molusca sedangkan perairan dengan arus
kuat atau jeram banyak ditemukan makrozoobentos dari kelompok Insekta dan
Hirudinae (Koesbiono, 1979).
Organisme yang ada di dasar sungai bergantung kepada sifat dasar
sungainya. Dasar sungai tergantung kepada kecepatan arus air jika aliran sungai
deras, maka dasar sungai mengandung kerikil dan pasir. Jika arus hampir diam,
maka dasar sungai adalah lumpur (Sastrawidjaya, 1991).
2.4.2 Temperatur Air
Dalam setiap
penelitian pada ekosistem akuatik, pengukuran temperatur air merupakan hal yang
mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di air
serta semua aktivitas biologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi
oleh temperatur. Menurut hukum Van’ Hoffs kenaikan temperatur sebesar 100 C
(hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkan laju
metabolisme dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju
metabolisme, akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat. Pola temperatur
ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya
matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian
geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan
yang tumbuh di tepi (Brehm dan Meijering, 1990 dalam Barus, 2004).
Temperatur
air pada suatu perairan merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan dan
distribusi makroinvertebrata air. Pada umumnya temperatur di atas 300C dapat
menekan populasi makroinvertebrata air (Odum, 1994). Welch (1980) menyatakan
bahwa hewan makroinvertebrata air pada masa perkembangan awal sangat rentan
terhadap temperatur tinggi dan pada tingkatan tertentu dapat mempercepat siklus
hidup sehingga lebih cepat dewasa. James dan Evison (1979)
menyatakan
bahwa temperatur yang tinggi menyebabkan semakin rendahnya kelarutan oksigen
yang menyebabkan sulitnya organisme akuatik dalam melakukan respirasi karena
rendahnya kadar oksigen terlarut.
2.4.3 Penetrasi Cahaya
Kemampuan
penetrasi cahaya sampai dengan kedalaman tertentu juga akan mempengaruhi
distribusi dan intensitas fotosintesis tumbuhan air dibadan perairan (Brower et
al., 1990). Menurut Koesbiono (1979), pengaruh utama dari kekeruhan adalah
penurunan penetrasi cahaya secara mencolok. Sehingga menurunkan aktifitas
fotosintesis fitoplankton dan alga, akibatnya menurunkan produktivitas perairan.
Muatan padatan tersuspensi dan
kekeruhan, menurut Sandy (1985) sangat dipengaruhi oleh musim. Pada waktu musim
penghujan kandungan lumpur relatif lebih tinggi karena besaran laju erosi yang
terjadi; sedangkan pada musim kemarau tingkat kekeruhan air sungai dipengaruhi
oleh laju aliran air yang terbatas menoreh hasil-hasil endapan sungai.
Menurut Sastrawijaya (1991), cahaya matahari tidak dapat menembus dasar
perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau zat terlarut tinggi.
Berkurangnya cahaya matahari disebabkan karena banyaknya faktor antara lain
adanya bahan yang tidak larut seperti debu, tanah liat maupun mikroorganisme
air yang mengakibatkan air menjadi keruh.
2.4.4 Intensitas Cahaya
Faktor cahaya
matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air.
Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan
dipantulkan ke luar dari permukaan air. Vegetasi yang ada disepanjang aliran
air juga dapat mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk ke mengabsorbsi cahaya
matahari. Efek ini terutama akan terlihat pada daerah hulu yang aliran airnya
umumnya masih kecil dan sempit.
Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi
yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Larva dari
Baetis rhodani akan bereaksi terhadap perubahan intensitas cahaya, dimana jika
intensitas cahaya matahari berkurang, hewan ini akan ke luar dari tempat
perlindungannya yang terdapat pada bagian bawah dari bebatuan didasar perairan,
bergerak menuju ke bagian atas bebatuan untuk mencari makanan (Barus, 2004).
2.4.5 DO (Disolved Oxygen)
Oksigen terlarut
merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air, yaitu untuk
respirasi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat
dipengaruhi temperatur, dimana kelarutan maksimum oksigen di dalam air pada
temperatur 00
C sebesar 14,16 mg/l O2, kelarutan ini akan menurun
jika temperatur air meningkat (Barus, 2004).
Menurut
Sanusi (2004), nilai DO yang berkisar di antara 5,45 – 7,00 mg/l cukup bagi
proses kehidupan biota perairan. Barus (2004), menegaskan bahwa nilai oksigen
terlarut di perairan sebaiknya berkisar antara 6 – 8 mg/l, makin rendah nilai
DO maka makin tinggi tingkat pencemaran ekosistem tersebut.
Kadar
organik adalah satu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan makrozoobentos,
dimana kadar organik ini adalah sebagai nutrisi bagi makrozoobentos tersebut.
Tingginya kadar organik pada suatu perairan umumnya akan mengakibatkan
meningkatnya jumlah populasi hewan bentos dan sebagai organisme dasar, bentos
menyukai substrat yang kaya akan bahan organik. Maka pada perairan yang kaya
bahan organik, umumnya terjadi peningkatan populasi hewan bentos (Koesbiono,
1979).
2.5 Indeks Keanekaragaman
Penggunaan
bentos sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan dalam bentuk indeks
biologi. Cara ini telah dikenal sejak abad ke 19 dengan pemikiran bahwa
terdapat kelompok organisme tertentu yang hidup di perairan tercemar.
Jenis-jenis organisme ini berbeda dengan jenis-jenis organisme yang hidup di
perairan tidak tercemar. Kemudian oleh para ahli biologi perairan,
pengetahuan ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan komposisi
organisme perairan karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator
kualitas perairan (Rosenberg, 1993).
Indeks
diversitas mungkin hasil dari kombinasi kekayaan dan kesamaan spesies .Ada
nilai indeks diversitas yang sama didapat dari komunitas dengan kekayaan yang rendah dan tinggi
kesamaan kalau suatu komunitas yang sama didapat dari
komunitas dengan kekayaan tinggi
dan kesamaan rendah .
Jika hanya memberikan nilai
indeks diversitas, tidak mungkin untuk mengatakan apa pentingnya relatif
kekayaan dan kesamaan spesies . Diversitas dipresentasikan oleh Hill (1973 b)
dengan lebih mudah secara ekologi.
Dimana Pi = ukuran individu (atau biomas, dll) yang
dimiliki oleh satu spesies.Hill menunjukkan bahwa urutan 0, 1, dan 2 dari
jumlah diversitas. Jumlah Diversitas Hill adalah:
Jumlah 0 :
N0 = S
dimana S adalah jumlah total spesies
Jumlah
1 :
N1 = e H’dimana H adalah indeks Shanon
Jumlah 2 :
N2 = 1/λ
dimana λ adalah indeks Simpson.
Jumlah diversitas ini dalam unit-unit, jumlah spesies dihitung
disebut oleh Hill sebagai jumlah spesies
efektif yang ada
dalam sampel. Jumlah
spesies efektif ini adalah
suatu hitungan untuk
kelimpahan sebanding yang
didistribusikan diantara spesies. Lebih
jelasnya, N0 adalah
jumlah semua spesies
dalam sampel (tanpa memperhatikan kelimpahannya), N2
adalah jumlah spesies
yang paling melimpah dan
N1 adalah jumlah
spesies yang melimpah (N1
selalu diantara N0
dan N2). Dengan kata
lain, jumlah spesies
efektif adalah suatu
hitungan dari jumlah
spesies dalam sampel dimana tiap spesies dipengaruhi oleh kelimpahannya.
Contoh: sampel dengan 11 spesies dan 100
individu dimana kelimpahan tersebar sebagai 90, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1.
Hanya 1 spesies yang sangat melimpah, diduga N2 mendekati (N2 = 1,23). N0 = 11 dan N1 =
1,74. Jadi unit Hill,s adalah spesies yang jumlahnya meningkat : 1) kurang
lebar ditempati spesies jarang (disebut N0, jumlah yang paling rendah, adalah
jumlah semua spesies
dalam sampel), 2). Nilai
lebih rendah dihasilkan dari
N1 dan N2,
menunjukkan melimpah dan
sangat melimpah dalam sampel.
Kriteria komunitas
lingkungan berdasarkan ndeks Keanekaragaman Jenis
menurut Lee et al. (1978) dalam Soegianto (1994) disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Komunitas Lingkungan Berdasarkan
Indeks Keanekaragaman
Indeks Keanekaragaman Jenis
|
Kriteria Indeks Keanekaragaman Jenis
|
>
2,0
|
Tinggi
|
≤
2,0
|
Sedang
|
<
1,6
|
Rendah
|
<
1,0
|
Sangat
rendah
|
2.5.1
Indeks
Kemerataan (E)
Nilai indeks
kemerataan jenis dapat
menggambarkan kestabilan
suatu komunitas. Nilai indeks
kemerataan (E) berkisar
antara 0-1. Semakin kecil
nilai E atau
mendekati nol, maka
semakin tidak merata penyebaran organismee
dalam komunitas tersebut
yang didominansi oleh jenis
tertentu dan sebaliknya
semakin besar nilai
E atau mendekati
satu, maka organismee dalam
komunitas akan menyebar
secara merata (Krebs, 1989). Rumus dari indeks
keseragaman Pielou (E)
menurut Pielou (1966) dalam
Odum (1983) yaitu sebagai berikut :
E=
H’ / lnS
Keterangan
:
E =Indeks Keseragaman
H’ = Indeks Keanekaragaman
S = Jumlah spesies
Sebaran fauna
seimbang atau merata
apabila mempunyai nilai
indeks kemerataan jenis
yang berkisar antara
0,6 - 0,8 (Odum,
1963). Berikut disajikan tabel
kondisi suatu komunitas perairan berdasarkan nilai indeks kemerataan menurut Krebs (1989) pada
Tabel 2.
Tabel 2.
Kriteria Komunitas Lingkungan Berdasarkan Indeks Kemerataan
Nilai
Indeks Kemerataan (E)
|
Kondisi
Komunitas
|
0,00
< E 0,50
|
Komunitas berada pada kondisi tertekan
|
0,50
< E 0,75
|
Komunitas
berada pada kondisi labil
|
0,75
< E 1,00
|
Komunitas
berada pada kondisi stabil
|
2.5.2
Indeks Simpson
Indeks
Simpson
memberikan probabilitas dari setiap
dua individu diambil secara acak dari
sebuah komunitas besar tak berhingga
milik spesies yang berbeda. Itu Simpson indeks
karena itu dinyatakan sebagai 1-D atau 1 / D. Indeks Simpson adalah
ditimbang berat terhadap
spesies yang paling melimpah dalam sampel sementara menjadi
kurang sensitif terhadap kekayaan
spesies. Telah ditunjukkan bahwa
setelah jumlah spesies melebihi
10 kelimpahan spesies
yang mendasari distribusi adalah penting dalam menentukan apakah indeks
tersebut memiliki tinggi atau rendah nilai. Nilai
D yang berdiri
untuk indeks dominasi digunakan dalam studi pemantauan polusi. Sebagai D
meningkat, keragaman menurun. Dengan cara itu efektif digunakan di Dampak
Lingkungan. Penilaian untuk mengidentifikasi
perturbasi.
λ = Σ Pi2
Dimana:
Pi adalah kelimpahan proporsial
tiap spesies dengan Pi = ni, i = 1,
2, 3, . . . . 5 dimana ni adalah jumlah individu pada spesies itu, N adalah
jumlah total inidividu
yang diketahui untuk
semua S spesies
dalam populasi itu nilai indeks ini dari 0 – 1 menunjukkan kemungkinan
bahwa 2 individu yang diambil secara
random dari suatu
populasi untuk spesies
yang sama . Jika
kemungkinan itu tinggi
bahwa ke-2 individu
mempunyai spesies yang
sama , maka diversitas komunitas
sampel itu rendah.
Rumus di atas
hanya digunakan untuk komunitas yang
terbatas dimana semua
anggota dapat dihitung. Untuk
komunitas yang tidak terbatas dibuat pembiasannya:
λ = Σ
ni(ni-1)
i=1
n(n-1)
2.5.3 Indeks Shannon
Indeks
ini didasarkan pada teori informasi dan
merupakan suatu hitungan rata-rata yang tidak pasti dalam memprediksi individu spesies
apa yang dipilih secara random dari
koleksi S spesies
dan individual N
akan dimiliki .
Rata-rata ini naik
dengan naiknya jumlah spesies
dan distribusi individu
antara spesies-spesies menjadi sama/merata . Ada 2 hal yang dimiliki
oleh indeks Shanon yaitu ;
1. H’=0 jika dan hanya jika ada satu spesies
dalam sampel.
2. H’
adalah maksimum hanya
ketika semua spesies
S diwakili oleh
jumlah individu yang sama,
ini adalah distribusi
kelimpahan yang merata
secara sempurna.
H’ = -Σ
(Pi LnPi) dimana H’ adalah rata-rata.
i=1
Tidak
pasti spesies dalam
komunitas yang tidak
terbatas membuat S*
spesies yang kelimpahan proporsional
P1, P2, P3,
. . .
PS*. S* adan
Pi’S adalah parameter populasi dan dalam praktek H’
diduga dari suatu sampel sebagai :
H’
= Σ [ ( ni/N) Ln ( ni /N) ]
i=1
Dimana
ni adalah jumlah
individu tiap S spesies dalam
sampel dan n
adalah jumlah total individu dalam dalam sampel. Jika n lebih besar,
biasanya akan menjadi lebih kecil.
2.5.4 Indeks Brillovin
Indeks keanekaragaman Brillouin (HB), digunakan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan
populasi organismee secara matematis agar lebih mudah dalam menganalisis
informasi-informasi jumlah individu masing-masing jenis dalam suatu komunitas.
Karena pengambilan sampel tidak secara acak, maka indeks keanekaragaman
dihitung dengan menggunakan Indeks Brillouin (Brower et al., 1989). Indeks Brillouin digunakan sebagai pengganti indeks Shannon ketika
keragaman non-acak contoh atau koleksi sedang
diperkirakan.
2.5.5 Indeks Kekayaan
Indeks kekayaan spesies (S), yaitu
jumlah total spesies dalam satu komunitas.
S tergantung
dari ukuran sampel
(dan waktu yang
diperlukan untuk mencapainya),
ini dibatasi sebagai indeks
komperatif . Karena itu,
sejumlah indeks diusulkan untuk
menghitung kekayaan spesies yang
tergantung pada ukuran sampel. Ini disebabkan karena hubungan antara S dan
jumlah total individu yang diobservasi , n, yang meningkat dengan meningkatnya ukuran sampel.
1. Indeks Margalef (1958) R1 = S - 1
In
(n)
2. Indeks Menhirick (1964) R2 =
S
√n
Peet (1974) mengatakan jika asumsi bahwa ada hubungan
fungsional S dan n dalam komunitas S =
k√n, dimana K = konstan harus dapat dipertahankan. Jika tidak indeks kekayaan
akan berubah dengan
ukuran sampel. Salah satu
alternatif untuk indeks kekayaan dengan menghitung secara
langsung . Jumlah spesies dalam sampel dalam
ukuran yang sama.
Sedangkan untuk sampel
dengan ukuran yang
berbeda dipakai metode Statistika rafefraction. Hurlbernt (1971)
menunjukkan bahwa jumlah
spesies yang dapat
diduga dalam sampel individu
n (ditunjukkan dengan
E (Sn) )
menggambarkan penyebaran
populasi total individu N antara S spesies
adalah :
Dimana, ni
jumlah individu dari
satu spesies. Pendugaan
jumlah spesies dalam ukuran
sampel random n
sebagai jumlah kemungkinan
bahwa setiap spesies dimasukkan dalam sampel . Contoh :
pada habitat 20 total 38 spesies(S), total burung 122 (N).
pendugaan jumlah spesies
pada ukuran sampel
yang bebeda yaitu,
E (Sn), pada n = 120, 110, 100 dan seterusnya. N
menggambarkan parameter populasi . Bagaimanapun, Peet
(1974) menunjukkan bahwa
untuk 2 komunitas
memiliki perbedaan jumlah individu
dan kelimpahan relatif,
rarefraction memprediksikan
bahwa ke-2 komunitas
mempunyai jumlah spesies
yang sama pada ukuran
sampel yang kecil. Jadi,
ketika menggunakan metode
ini , diasumsikan
bahwa komunitas yang dipelajari
tidak beda spesiesnya
– hubungan individu.
BAB
III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini
dilakukan di danau sungai Semanggi, Ciputat
Tanggerang selatan dan di Pusat Laboratirium Terpadu (PLT) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada
hari Selasa, 1 Mei 2012 pukul 13.00 WIB.
3.2 Alat dan Bahan
Praktikum kali
ini menggunakan alat-alat pengukuran faktor abiotik ekosistem akuatik seperti meteran, termometer,
kertas pH indikator, secchi disk,
konduktimeter, turbidimeter, hand counter,
ekman grab, botol vido, cawan petri,
kaca pembesar, kamera, tongkat dan alat tulis, label, tali rafia, bola tenis
meja, kompas, stop watch, dan kamera.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sampel air sungai,
dan formalin 5 %.
3.2 Cara kerja
3.2.1.
Profil Melintang Sungai
Ditentukan
daerah sungai yang akan diteliti. Tali raffia dibentangkan dari tepi sungai
satu ke tepi sungai yang lain. Diukur kedalaman sungai dalam interval tertentu
misalnya 20 cm. Dipetakan hasil pengamatan pada kertas grafik.
3.2.2.
Mengukur Kecepatan Arus Sungai
Ditentukan
suatu jarak misalnya 1 meterpada sungai dengan arah dari huli ke hilir. Bola
tenis meja dilepaskan dari awal sampai titik akhir yang telah ditentukan.
Dicatat waktu tempuh benda yang dilepaskan tersebut.kecepatan diukur pada arus
bagian ditepi dan ditengah sungai.
3.2.3
Teknik sampling, pengawetan, identifikasi dan analisis Bentos
Perairan sungai
dibagi menjadi 5 titik. Diambil cuplikan Bentos pada masing-masing titik dengan
cara mengambil substrat lumpur dasar perairan dengan segala organisme yang ada
diatasnya dengan menggunakan Ekman Grab bervolume tertentu. Cuplikan lumpur
yang mengandung bentos dimasukan kedalam wadah sampel. Dilakukan pemisahan
antara substrat lumpur dan organisame bentos. Diberi larutan formalin 5%
secukupnya untuk pengawetan dan ditutup rapat.
Dilakukan pengukuran faktor fisik meliputi suhu, kecerahan, derajar
keasaman (pH), konduktivitas, dan turbiditas. Selanjutnya dilakukan
identifikasi terhadap bentos yang didapatkan dan dilakukan perhitungan
keanekaragaman bentos.
3.3
Analisis Data
3.3.1.1
Shanon Wiener
Indeks
diversitas atau indeks keanekaragaman bentos dihitung dengan menggunakan rumus
Shannon- Wiener :
H’ = - atau H’ =
Pi =
Keterangan :
ni =
jumlah individu tiap jenis
N
= jumlah individu total
H’ = Indeks keanekaragaman
3.3.1.2 Indeks Simpson
Ds = 1/D = E =
Atau
Ds =
Keterangan:
Ds =
Indeks Simpson
ni = jumlah individu spesies
N = Jumlah individu
S = Jumlah spesies
E = Indeks kemerataan
3.3.1.3
Indeks
Margalef
DMG =
Keterangan:
DMG
= Indeks Margalef
N = Jumlah individu
S = Jumlah spesies
3.3.1.4 Indeks Menhinick
DMN =
Keterangan:
DMN
= Indeks Menhinick
N = Jumlah individu
S = Jumlah spesies
3.3.1.5 Indeks Hill
N1 =
eH’
N2 =
1/Ds
H’=
indeks Shanoon
Ds =
indeks Simpson
3.3.1.6 Indeks Brillovin
HB=
(ln N! - ∑ ln n!) / N
3.3.1.7 Indeks Fisher alpha
S = α ln ( 1+
N/ α)
BAB 1V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Praktikum
kali ini mengenai Bentos, dilakukan di Sungai Semanggi bertujuan untuk
mengetahui karakteristik dan faktor pembatas bentos berdasarkan keanekaragaman,
kondisi, dan parameter lingkungan fisika dan kimia di Sungai Semanggi, Ciputat.
Selain itu, penelitian bentos kali ini juga untuk mengetahui kondisi Sungai
Semanggi karena bentos merupakan organisme perairan yang keberadaannya dapat
dijadikan indikator perubahan kualitas biologi perairan sungai (Canter dan
Hills, 1979).
Pengukuran
faktor fisik dan kimia dalam penelitian keberadaan bentos di Sungai Semanggi
didapatkan hasil pengukuran sebagai berikut.
Tabel 4.1 Pengukuran faktor abiotik
ekosistem perairan Sungai Semanggi
No
|
Pengukuran
|
Hasil
|
1
|
pH
|
6,5
|
2
|
Suhu
|
29,9 °C
|
3
|
Turbiditas
|
15,88 FTU
|
4
|
Kecerahan
|
36,42 cm
|
5
|
Kecepatan Arus
|
0,678 m/s
|
6
|
Konduktivitas
|
0,14 ms
|
7
|
Lebar sungai
|
6,42 m
|
Tabel
diatas merupakan data hasil pengukuran faktor fisik dan kimia. Faktor fisik
berupa temperatur, kecerahan, kekeruhan dan konduktivitas air. Faktor kimia
meliputi Derajat Keasaman (pH) dalam air, faktor fisik dan kimia tersebut
merupakan faktor yang mempengaruhi hasil penelitian keberadaan bentos di perairan Sungai Semanggi
Hasil pengukuran faktor kimia yang
pertama yaitu derajat keasaman air (pH) dilakukan dengan menggunakan pH-meter
dan didapatkan hasil sebesar 6,5. Hasil tersebut menunjukkan bahwa air Sungai Semanggi bersifat asam karena pH kurang dari 7. Kandungan
pH dalam suatu perairan dapat berubah-ubah sepanjang hari akibat dari proses
fotosintesis tumbuhan air. Derajat keasaman suatu perairan juga sangat menentukan
kelangsungan hidup organisme dan merupakan resultan sifat kimia, fisika
perairan (Welch, 1952).
Perairan yang memiliki kadar pH ideal
bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Hasil
pengukuran pH air Sungai Semanggi sebesar 6,5 menunjukan
kondisi perairan yang asam dan akan membahayakan kelangsungan hidup organisme
karena akan menyebabkan terjadinya berbagai gangguan seperti gangguan
metabolisme dan respirasi termasuk pada bentos (Barus, 2004).
Pengamatan
selanjutnya yaitu pada faktor fisik perairan danau Sungai Semanggi, yang pertama adalah temperatur air.
Hasil pengukuran temperatur air dilakukan dengan menggunakan termometer
didapatkan hasil 29,9 °C. Kondisi temperatur air Sungai Semanggi menunjukkan kisaran suhu yang cukup
tinggi karena pengamatan dilakukan pada saat terik matahari. Tinggi rendahnya nilai
temperatur suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan organisme air
termasuk bentos. Tingginya nilai temperatur dapat mempengaruhi jumlah, jenis,
dan persebaran bentos dalam suatu ekosistem. Peningkatan suhu akan menyebabkan
konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan
meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Sumber utama oksigen terlarut dalam
air adalah penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air
dan udara dan dari proses fotosintesis (Barus, 2004).
Pengamatan faktor fisik selanjutnya
yaitu pada kecerahan air dengan menggunakan Secchi disk didapatkan hasil
pengukuran sebesar 36,42 cm. Hasil tersebut menunjukkan
hasil kecerahan air yang cukup baik. Hal tersebut dikarenakan kondisi
pengamatan pada saat siang hari yang terik sehingga cahaya matahari dapat
menembus kekeruhan air. Selain itu, mungkin disebabkan karena perairan tersebut
masih terdapat sedikit liat, lumpur, atau lainnya yang mengendap yang
memisahkan nilai guna dasar perairan yang merupakan daerah habitat organisme
(Subarjanti, 2005).
Pengukuran faktor fisik yang ketiga
yaitu pengukuran kekeruhan air dengan menggunakan turbidimeter didapatkan hasil
dengan nilai 15,88 FTU (Formazin
Turbidity Unit). Hasil tersebut menunjukkan
bahwa kekeruhan air Sungai Semanggi tergolong baik dalam kualitas standar karena
tingkat kekeruhannya belum mencapai 1000 FTU. Jika tingkat kekeruhannya telah mencapai 1000 FTU
menunjukan kondisi perairan telah banyak tercemar oleh sampah-sampah organik
maupun anorganik. Kekeruhan akan mempengaruhi penetrasi cahaya yang
masuk. Penetrasi cahaya
merupakan faktor pembatas bagi organismee fotosintetik dan juga mempengaruhi
migrasi vertikal harian dan dapat pula mengakibatkan kematian pada organisme
tertentu (Barus, 2001).
Pengukuran faktor fisik yang terakhir adalah pengukuran konduktivitas air
dengan menggunakan conductivity-meter didapatkan
hasil senilai 0,14 ms. Hal tersebut menunjukan
baiknya kualitas air Sungai Semanggi karena garam-garam yang terlarut di dalam
air sungai Semanggi cukup besar dan memiliki potensi sebagai penghantar arus
listrik yang baik. Hasil ini dipengaruhi oleh kecerahan yaitu semakin besar nilai
konduktivitas maka semakin tinggi pula tingkat kecerahan. Hal
ini juga bisa disebabkan proses dekomposisi bahan organik menyebabkan pelepasan
senyawa anorganik yang akan memperkaya kandungan ion dalam perairan sehingga
meningkatkan konduktivitas.
Hasil pengukuran lebar sungai sebesar 6,42 m dipengaruhi juga oleh kecepatan arus sungai. Semakin lebar sungai dapat
menurunkan kecepatan arus sungai. Kecepatan arus sebesar 0,678 m/s menunjukkan bahwa arus yang terdapat di Sungai
Semanggi tersebut cukup deras. Kecepatan arus dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian
antara bagian hilir dan hulu (topografi) badan air, dimana semakin tinggi
perbedaan ketinggian (elevasi) tersebut maka arus semakin kuat. Kecepatan arus
akan mempengaruhi komposisi substrat dasar (sedimen) dan juga akan mempengaruhi
aktifitas makrozoobentos yang ada. Kecepatan arus merupakan salah satu faktor
penentu kemelimpahan dan keanekaragaman makrozoobentos. Perairan yang relatif tenang dan banyak
ditumbuhi tumbuhan air biasanya banyak ditemukan kelompok Molusca sedangkan
perairan dengan arus kuat atau jeram banyak ditemukan makrozoobentos dari kelompok
Insekta dan Hirudinae (Koesbiono, 1979).
Sampel
diambil menggunakan Eckmann grab, kemudian diidentifikasi di Pusat Laboratorium
Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan
hasil 10 jenis
bentos antara lain Pila sp., Melanoides punctata, Hirudinea sp., Cacing Sutra, Belamya
sp., Thiara scabia, Melanoides macculata, Parathelpus sp., Artentome sp. dan
Syncera sp. Perhitungan
menggunakan berbagai indeks keanekaragaman dan kemerataan didapatkan hasil
sebagai berikut.
Grafik
1 merupakan hasil analisis pengamatan dengan menggunakan indeks Shannon Wiener.
Berdasarkan grafik 1, terlihat nilai indeks keanekaragaman tertinggi pada titik
ke-5 yaitu 1,466 dan terendah pada titik ke-1 yaitu 0,476. Hal ini menunjukkan nilai keanekaragamannya tergolong
rendah rendah karena H’<1 adalah="adalah" banyak="banyak" batu="batu" bentos="bentos" cacing="cacing" dan="dan" dapat="dapat" di="di" dikarenakan="dikarenakan" dipengaruhi="dipengaruhi" diperairan="diperairan" disebabkan="disebabkan" ditemukan="ditemukan" hasil="hasil" jenis="jenis" kandungan="kandungan" karena="karena" keanekaragaman="keanekaragaman" lainnya="lainnya" lebih="lebih" lingkungan="lingkungan" lumpur.="lumpur." oksigen.="oksigen." oleh="oleh" organisme="organisme" parameter="parameter" perbedaan="perbedaan" ph="ph" rendahnya="rendahnya" sehingga="sehingga" semanggi="semanggi" seperti="seperti" span="span" substrat="substrat" suhu="suhu" sungai="sungai" sutra="sutra" tersebut="tersebut">
1>dan jenis bentos Melanoides
punctata.
Indeks
kemerataan (E) pada grafik 1 memperlihatkan hasil kemerataan tertinggi pada
titik ke-5 yaitu sebesar 0,91 dan yang terendah pada titik ke-1 yaitu sebesar
0,34. Indeks kemerataan yang tinggi mendekati 1 menunjukkan persebaran atau
pemerataan individu bentos tersebar secara merata pada wilayah tersebut. Hal
ini dikarenakan dari jumlah masing-masing spesies yang ditemukan pada wilayah
tersebut, jumlahnya tidak ada yang mendominasi antara satu spesies dengan
jumlah spesies lainnya.
Berdasarkan
indeks diversitas Shannon-Wiener dapat diketahui bahwa kualitas perairan Sungai
Semanggi tergolong buruk (0,81-1,60). Terbukti dengan ditemukannya banyak
sampah dan kotoran pada saat pengamatan. Sampah yang terbawa arus sungai dapat
menyebabkan kekeruhan sungai meningkat dan akan mengganggu kehidupan organisme
bentos yang ada.
Grafik
2 merupakan hasil analisis indeks keanekaragaman dan kemerataan dengan
menngunakan indeks Simpson. Berdasarkan grafik 2, diketahui bahwa nilai indeks
keanekaragaman (Ds) tertinggi pada titik ke-5 yaitu 0,78 dan terendah pada
titik ke-1 yaitu 0,196. Sedangkan indeks Simpson E tertinggi pada titik 5 yaitu
1,02 dan terendah pada titik 1 yaitu 0,3205.
Indeks Simpson memberikan kemungkinan acak dari data yang
dianalisis dari sebuah komunitas besar tak berhingga
milik spesies yang berbeda. Berdasarkan
indeks keanekaragaman nilai tertinggi pada titik ke-5 termasuk kategori sangat
rendah (<1 0="0" 1988="1988" analisis="analisis" berada="berada" berdasarkan="berdasarkan" dapat="dapat" data="data" diketahui="diketahui" e="e" hasil="hasil" kategori="kategori" ke-1="ke-1" ke-5="ke-5" kedalam="kedalam" komunitas="komunitas" kondisi="kondisi" lingkungan="lingkungan" pada="pada" rebs="rebs" sedangkan="sedangkan" span="span" stabil="stabil" termasuk="termasuk" tersebut="tersebut" tertekan="tertekan" titik="titik">1>
Grafik
3. Indeks Margalef, Menhinick, dan Fisher alpha pada Setiap Titik
Grafik
3 merupakan hasil analisis indeks diversitas bentos dengan menggunakan indeks Menhinick,
Margalef, dan Fisher. Indeks Margalef dan Menhinick adalah indeks untuk
mengukur kekayaan spesies berdasarkan ukuran sampel. Berdasarkan grafik diatas,
dapat diketahui nilai indeks Menhinick tertinggi pada titik ke-5 yaitu 1,443
dan terendah pada titik ke-1 yaitu 0,603. Sedangkan indeks Margalef tertinggi
pada titik ke-5 yaitu 1,6 dan terendah pada titik ke-1 yaitu 0,79. Berdasarkan
hasil perhitungan nilai tertinggi kedua indeks berada pada titik ke-5.
Sedangkan nilai indeks keanekaragaman Fisher tertinggi pada titik 4 yaitu 5,85
dan terendah pada titik 1 yaitu 1,0335. Berdasarkan grafik 3, dapat diketahui
bahwa titik 4 memeliki keanekaragaman yang tinggi tinggi (>2,0) sedangkan
titik 1 termasuk kriteria rendah (<1 ee="ee" i="i">et al. , 1>
1978 dalam Sugiarto,
2007 ).
Grafik
4. Indeks Keanekaragaman Hill N1 dan N2 pada setiap titik
Grafik 4 merupakan hasil analisis data pengamatan dengan
menggunakan perhitungan indeks Shannon sehingga diperoleh nilai indeks Hill.
Berdasalkan hasil perhitungan, didapatkan nilai N1 tertinggi pada titik ke-5
yaitu 4,334 dan terendah pada titik ke-1 yaitu 0,21. Sedangkan nilai N2
tertinggi juga pada titik ke-5 yaitu 5,1 dan terendah juga pada titik ke-1
yaitu 1,28. N2 adalah
jumlah spesies yang
paling melimpah dan N1
adalah jumlah spesies
yang melimpah (N1
selalu diantara N0
dan N2).
Grafik
5. Indeks Brillovin pada setiap titik
Grafik
5 merupakan hasil analisis data pengamatan dengan menggunakan perhitungan indeks
Shannon sehingga diperoleh nilai indeks brillivon. Berdasarkan grafik 5,
diketahui hasil perhitungan tertinggi pada titik ke-4 yaitu 1,71 dan terendah
pada titik ke-1 yaitu 0,39. Indeks
keanekaragaman Brillouin (HB), digunakan untuk
mendapatkan gambaran tentang keadaan populasi organisme secara matematis agar
lebih mudah dalam menganalisis informasi-informasi jumlah individu
masing-masing jenis dalam suatu komunitas. Indeks Brillouin digunakan sebagai pengganti indeks Shannon ketika
keragaman non-acak contoh atau koleksi sedang
diperkirakan. Karena
pengambilan sampel tidak secara acak, maka indeks keanekaragaman dihitung
dengan menggunakan Indeks Brillouin (Brower et al., 1989). Berdasarkan kriteria
komunitas lingkungan dengan menggunakan indeks keanekaragaman nilai tertinggi
pada titik 4 tergolong kategori sedang (<2 4="4" 6="6" banyak="banyak" dikarenakan="dikarenakan" hal="hal" ini="ini" jumlah="jumlah" memiliki="memiliki" paling="paling" span="span" spesies.="spesies." spesies="spesies" titik="titik" yaitu="yaitu">2>
Gambar
1. Profil melintang sungai Semanggi pada titik 5
Gambar diatas merupakan profil tepi dari
titik pengamatan kelompok 5 di Sungai Semanggi, Ciputat. Berdasarkan gambar
diatas, terlihat ilustrasi hasil pengamatan yang didapatkan dari kelompok 5,
yaitu kedalaman yang diukur setiap
interval 20 cm sepanjang 5 meter. Hasil pengukuran didapatkan hasil kedalaman
paling dalam adalah cm. Jenis bentos
yang didapatkan pada titik ini antara lain Bellamya
sp., Melanoides punctata, Melanoides
macculata, Pila sp., cacing Sutra (Annelida),
dan yang paling mendominasi adalah jenis Melanoides
punctata.
Hal ini dikarenakan Melanoides punctata merupakan jenis
bentos yang hidup di dalam substrat batu dan sedikit lumpur sehingga tahan
terhadap arus. Begitupun dengan jenis gastropoda lainnya. Cacing sutra yang
ditemukan merupakan detritus diperairan sungai tersebut karena tersedianya
bahan-bahan dan limbah organik.
Berdasarkan
hasil pengamatan profil tepi, diketahui bahwa kualitas perairan Sungai Semanggi
pada titik 5 hanya didapatkan 5 spesies berarti termasuk kategori jelek (3-5),
karena kualitas lingkungan yang sangat baik memiliki keanekaragaman fauna
sebanyak 15 spesies dan fauna sebanyak >30 spesies (Probosunu, 2008). Dasar
perairan yang kedalaman airnya berbeda akan dihuni oleh bentos yang berbeda
pula, sehingga terjadi stratifikasi komunitas menurut kedalaman. Pada
perairan yang lebih dalam bentos mendapat tekanan fisiologis dan hidrostatis
yang lebih besar. Karena itu bentos yang hidup di perairan yang dalam ini
tidak banyak (Setyobudiandi,
I. 1997).
BAB V
KESIMPULAN
1.
Faktor
yang mempengaruhi kelimpahan bentos di suatu perairan adalah suhu, pH, kadar oksigen terlarut,
temperatur dan kecerahan.
2.
Jenis bentos yang di temukan di setiap
titik pengamatan di sungai Semanggi adalah jenis Pila sp. Melanoides macculata, dan Melanoides punctata.
3.
Keakekaragaman bentos di perairan sungai
Semanggi termasuk buruk
4.
Kualitas air di perairan sungai Semanggi termasuk tercemar
sedang.
5.
Substrat di perairan sungai Semanggi
adalah berlumpur dan lumpur berpasir.
DAFTAR PUSTAKA
Amini, S. 2008. Pertumbuhan Mikroalgae (nitzchia closterium) dengan Perlakuan
pupuk. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan
Perikanan Jakarta
Barus,
T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.USU
Press. Medan.
Boyd, C E. 1988.Water Quality in Warmwater Fish Pound
FourthPrinting. Auburn University Agricultural Experiment Station. Alabama.
Effendie, H.
2003.Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan
Sumber Dayadan Lingkungan Perairan. Kanisius.
Yogyakarta.
Fardiaz, S.
1992.Polusi Air dan Udara. Kanisus.
Yogyakarta.
Fitriana, Y. R. 2006. Keanekaragaman
dan Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan
Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman
Hutan Raya Ngurah Rai Bali.
Biodiversitas, (7): 67-72.
Gosling, E. 2003. Bivalve
Molluscs. Biology, Ecology and Culture. Fishing News
Books, Blackwell
Publishing. Great Britain. 455p
Hutabarat, S dan Evans, M., 1985.Pengantar
Oseanografi. VC Press. Jakarta.
Lingga,
Pinus. 1999.Ikan Mas Kolam Air Deras.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Mahanal,
S. 2008.Pengembangan Perangkat Pembelajaran Deteksi Kualitas Sungai dengan
Indikator Biologi Berbasis Konstruktivistik untuk Memberdayakan Berpikir Kritis
dan Sikap Siswa SMA terhadap Ekosistem Sungai di Malang. Disertasi tidak
diterbitkan. Malang:Program Pasca sarjana Universitas Negeri Malang.
Nybakken, JW.
1992. Biologi Laut satu Pendekatan
Ekologis. Jakarta. PT Gramedia.
Nybakken,
JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan
Ekologis. Jakarta. PT. Gramedia.
Nybakken,
JW. 1998. Biologi Laut Suatu Pendekatan
Ekologis. Jakarta. PT. Gramedia.
Odum, E.P. 1971. Fundamental
of Ecology. W.B. Saunder Com. Philadelphia 125 pp.
Pescod. 1973.Investigation of Rational Effluent and
StreamStandar for Tropical Countries. Asean institute of Technologi. Bangkok.
Prihantini,
N. B. 2005. Pertumbuhan
Chlorella
spp.
dalam medium ekstrak tauge(MET) dalam variasi pH awal. Vol 9: 1-6 diakses pada
Sabtu, 14 April2012 pkl 20:06
Setiadi, Dede. 1989. Dasar-dasar Ekologi.IPB Press. Bogor.
Soeseno, S.
1970.Limnologi untuk Sekolah Perikanan
Menengah Atas. IPB. Bogor.
Sumich, J. L.,
1999. An Introduction to The Biology of Marine Life. 7 th. ed.
McGraw-Hill. New York. pp: 73 – 90; 239 – 248; 321 - 329
Suripin.2004. Pelestarian Sumber Daya
Tanah dan Air.Yogyakarta. Andi Yogyakarta.
Suin
NM. 2002. Metoda Ekologi. Universitas Andalas.Padang.
Wardoyo,
S. T. H. 1981.Kriteria Kualitas Air untuk
KeperluanPertanian dan Perikanan. Training Analisa dampak lingkunganPPLH, UNDP-
PUS DPSL. IPB. Bogor.
Welch, P. S.
1952.Limnology . McGraw-Hill
Book Company. New York.
Wetzel, RG. And
GE. Likens. 1995.Limnology Analysis.
SpringerVerlag. New York.
Wibisono, M.S. 2004. Pengantar Ilmu Kelautan Edisi 2. UI
Press. Jakarta.
Wirakusumah, Sambas. 2003. Dasar-dasar Ekologi.
UI Press. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar